Senin, 07 Februari 2011

Cerita Dewasa 8 (Aditya dan Dr. Rini)

Dulu terfikir, uang pensiunan pegawai negeri sudah cukup untuk menjadi jaminan sumber biaya untuk membiayai keluarg-ku, namun krisis berkepanjangan di negeri ini, ditambah harga kebutuhan hidup yang terus meningkat membuat dana pensiunan bulanan makin tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini, membiayai biaya sekolah anak-anak-ku, dan gaya hidup mereka yang makin tinggi, belum lagi, Parni istri-ku yang tercinta mengidap penyakit kanker, harta yang tersisa pun aku jual untuk menutup semua biaya pengobatan, walaupun akhirnya Parni meninggal 5 tahun yang lalu..

Dan sejak 5 tahun itulah saya harus memutar otak, beruntung di usia-ku yang sudah lewat setengah abad ini, gelar S-2 sempat aku kenyam, hingga Aku masih dianggap pantas untuk mengajar di sebuah Universitas Swasta di Jakarta,..

Berbeda memang, anak-anak dari kaum borjuis ini, membuat rasanya diri ini malu, merasa gagal sebagai orang tua, rasanya tuntutan ke dua anak-ku Mardi dan Mira tidak lah berlebihan HandPhone berwarna atau pun sepeda motor, itu masih jauh di bawah standard para Mahasiswa-ku,..

Ya bagaimana-pun aku mulai bersyukur, bersyukur anak-anak-ku masih mau menggap aku sebagai ayah, dan mau menerima keadaan ekonomi yang meski tidak berlebih, namun untuk sekedar biaya makan dan sekolah bukan-lah masalah,..

Selama 5 tahun ini juga aku berusaha menjadi dosen idealis, dosen yang baik dan objektive pada murid-murid-ku, berusaha sedikit tegas dan memang itu yang aku fikir harus aku lakukan, sayang rasanya membiarkan mereka membuang uang orangtua-nya untuk sekedar bermain di dalam kelas, aku gak mau seperti Pak Irham, atau Pak Bambang, yang dikenal sebagai dosen ‘baik’ di kampus ini, sayang rasanya mereka tidak mendapat sesuatu di dalam kelas,..

Namun kejadian ini membuat hidup-ku berubah, mungkin…

Waktu itu aku mengajar pelajaran Bank dan Lembaga Keuangan, salah satu mata kuliah yang paling aku kuasai, kelas yang kuajar itu bisa dibilang kelas buangan, karena memang hal yang biasa kalau daftar kelas dan dosen yang mengajar itu sudah bocor sebelum pengisian Jadwal mahasiswa,..

Jadilah kelas-ku salah satu kelas yang paling dihindari,.. Yang payahnya lagi anak-anaka ini seperti tidak mau Belajar, aku berusaha bersabar, hingga pada akhirnya saat membacakan nilai UTS, 3 minggu sebelum UAS murid-murid mulai menjambangi meja kerja-ku di ruang dosen, ya seolah aku yang menentukan nilai, aku yang sengaja membuat nilai mereka Jatuh,..

Cerita Dewasa 8 (Dosen Juga Manusia)

Dulu terfikir, uang pensiunan pegawai negeri sudah cukup untuk menjadi jaminan sumber biaya untuk membiayai keluarg-ku, namun krisis berkepanjangan di negeri ini, ditambah harga kebutuhan hidup yang terus meningkat membuat dana pensiunan bulanan makin tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini, membiayai biaya sekolah anak-anak-ku, dan gaya hidup mereka yang makin tinggi, belum lagi, Parni istri-ku yang tercinta mengidap penyakit kanker, harta yang tersisa pun aku jual untuk menutup semua biaya pengobatan, walaupun akhirnya Parni meninggal 5 tahun yang lalu..

Dan sejak 5 tahun itulah saya harus memutar otak, beruntung di usia-ku yang sudah lewat setengah abad ini, gelar S-2 sempat aku kenyam, hingga Aku masih dianggap pantas untuk mengajar di sebuah Universitas Swasta di Jakarta,..

Berbeda memang, anak-anak dari kaum borjuis ini, membuat rasanya diri ini malu, merasa gagal sebagai orang tua, rasanya tuntutan ke dua anak-ku Mardi dan Mira tidak lah berlebihan HandPhone berwarna atau pun sepeda motor, itu masih jauh di bawah standard para Mahasiswa-ku,..

Ya bagaimana-pun aku mulai bersyukur, bersyukur anak-anak-ku masih mau menggap aku sebagai ayah, dan mau menerima keadaan ekonomi yang meski tidak berlebih, namun untuk sekedar biaya makan dan sekolah bukan-lah masalah,..

Selama 5 tahun ini juga aku berusaha menjadi dosen idealis, dosen yang baik dan objektive pada murid-murid-ku, berusaha sedikit tegas dan memang itu yang aku fikir harus aku lakukan, sayang rasanya membiarkan mereka membuang uang orangtua-nya untuk sekedar bermain di dalam kelas, aku gak mau seperti Pak Irham, atau Pak Bambang, yang dikenal sebagai dosen ‘baik’ di kampus ini, sayang rasanya mereka tidak mendapat sesuatu di dalam kelas,..

Namun kejadian ini membuat hidup-ku berubah, mungkin…

Cerita Dewasa 9 (Dosen Juga Manusia)

Dulu terfikir, uang pensiunan pegawai negeri sudah cukup untuk menjadi jaminan sumber biaya untuk membiayai keluarg-ku, namun krisis berkepanjangan di negeri ini, ditambah harga kebutuhan hidup yang terus meningkat membuat dana pensiunan bulanan makin tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini, membiayai biaya sekolah anak-anak-ku, dan gaya hidup mereka yang makin tinggi, belum lagi, Parni istri-ku yang tercinta mengidap penyakit kanker, harta yang tersisa pun aku jual untuk menutup semua biaya pengobatan, walaupun akhirnya Parni meninggal 5 tahun yang lalu..

Dan sejak 5 tahun itulah saya harus memutar otak, beruntung di usia-ku yang sudah lewat setengah abad ini, gelar S-2 sempat aku kenyam, hingga Aku masih dianggap pantas untuk mengajar di sebuah Universitas Swasta di Jakarta,..

Berbeda memang, anak-anak dari kaum borjuis ini, membuat rasanya diri ini malu, merasa gagal sebagai orang tua, rasanya tuntutan ke dua anak-ku Mardi dan Mira tidak lah berlebihan HandPhone berwarna atau pun sepeda motor, itu masih jauh di bawah standard para Mahasiswa-ku,..

Ya bagaimana-pun aku mulai bersyukur, bersyukur anak-anak-ku masih mau menggap aku sebagai ayah, dan mau menerima keadaan ekonomi yang meski tidak berlebih, namun untuk sekedar biaya makan dan sekolah bukan-lah masalah,..

Selama 5 tahun ini juga aku berusaha menjadi dosen idealis, dosen yang baik dan objektive pada murid-murid-ku, berusaha sedikit tegas dan memang itu yang aku fikir harus aku lakukan, sayang rasanya membiarkan mereka membuang uang orangtua-nya untuk sekedar bermain di dalam kelas, aku gak mau seperti Pak Irham, atau Pak Bambang, yang dikenal sebagai dosen ‘baik’ di kampus ini, sayang rasanya mereka tidak mendapat sesuatu di dalam kelas,..

Namun kejadian ini membuat hidup-ku berubah, mungkin…

Cerita Dewasa 8 (Aditya dan Dr. Rini)

Di usianya yang baru 25 tahun, Rini sudah menjadi seorang Dokter. Telah menikah dengan Aditya, yang juga seorang Dokter. Usia Rini terpaut tiga tahun dari suaminya Pasangan ini belum dikaruniai anak,mereka baru menikah selama 2 tahun.

Suatu hari, Rini di khabari oleh kerabatnya bahwa neneknya yg berada di kota Solo telah meninggal dunia. Berita itu sangat membuatnya sedih karena sang nenek lah yang membesarkannya dan mendidiknya. Karena saat ia berusia 12 tahun, Rini telah di tinggalkan kedua orang tuanya yang tewas saat kecelakaan mobil

Keluarganya terbilang keluarga yang berada dan berdarah ningrat. karena tidak ada yang mewarisi kekayaan orang tuanya, juga harta yang ditinggalkan neneknya. Rini menjadi pewaris tunggal harta harta itu. Salah satunya adalah sebuah Villa yang berada di daerah wisata Tawangmangu.

Setelah pemakaman neneknya dan besilaturahmi dengan kerabatnya maka Rini pun berkunjung ke villa neneknya di Tawangmangu itu.

Dihari yg telah di rencanakannya itu Rini bersama suaminya Aditya mengunjungi villanya itu. Villa yang besar itu, selamai ini di jaga oleh Parjo. Usianya kira kira 55 tahun. Seorang laki laki penduduk sekitar yang telah cukup lama bekerja pada neneknya. Parjo juga di beri amanah untuk mengurus villa dan perkebunan keluarga itu.

Hari itu, seperti yang direncanakan Rini dan suaminya akan bermalam disitu untuk beberapa hari. Kebetulan mereka telah mengambil cuti. Pasangan ini pun selalu terkesan amat mesra dan romantis. Maklum mereka pasangan muda, yang belum lama menikah.

Sore hari itu, Rini dan suaminya di temani Parjo berkeliling, Villa besar itu. Di kebun belakang villa itu, dekat paviliun, tempat Parjo tinggal, mata Rini menangkap, image pohon besar, yang rindang. Dengan akar akarnya yang sebagian keluar dari dalam tanah. seperti tak terawat. Di sana ada taburan bunga bunga.

“pak Parjo, pohon apa ini, koq tampaknya tak terawat” tanya Rini. “oh, ini pohon sudah tua sekali, yah memang dari dulu sudah begitu, dari zaman eyang non Rini” jawab Parjo. “wah, sepertinya merusak pemandangan, tebang saja pak Parjo” kata Rini lagi. “oh JANGAN.. “jawab pak Parjo keras.

Rini terkejut mendengar jawaban pak Parjo. Suaminya juga menatap pak Parjo.
” maaf, maksud saya, eyang non pernah berpesan, tidak boleh di tebang” jawab pak Parjo. Rini diam saja, kemudian, berjalan kembali ke depan, bersama suaminya.

” mas, aku gak suka sama pohon itu, bulu kudukku merinding, sepertinya ada sesuatu di situ” ujar Rini pada suaminya. “Rini, Rini, makanya kalau nonton TV, jangan acara mistis yang di tonton, kamu itu seorang dokter, pakai logika dong” jawab suaminya enteng. Rini menatap suaminya, matanya melotot.

Suaminya pun tersenyum, lalu melumat bibir Rini,” ah, udeh deh..” kata Rini. “yah sudah, kalau gak suka yah kamu tebang saja, nanti..” kata Suaminya.

Udara dingin, di kawasan itu, membuat mereka bercumbu di malam itu. Di mulai dengan ciuman ciuman mesra dari suaminya, serta rabaan lembut di paha mulus Rini.
Baju tidur Rini, tanpa terasa, mulai tersingkap. Menampakkan kedua paha mulusnya, serta pangkal pahanya yang masih terbalut celana dalam putih. Bukan hanya mata suaminya yang melihat, tanpa sepengetahuan mereka ada sepasang mata yang mengintip, sepasang mata milik Parjo.

Satu sentuhan jari Suaminya, di selangkangan Rini, membuatnya mendesah keras. Jari itu terus bermain di atas celana dalamnya. Bercak bercak basahan mulai tampak di selangkangan celana dalam Rini.

Dengan cepat Rini melepas baju tidurnya, menyodorkan buah dadanya yang bulat padat, dengan putting memerah, telah menonjol keras, ke mulut suaminya. “mas, mau nete dong.. “kata Rini dengan nafsu. Mulut Suaminya, pun menyedot putting susunya. “ohhh … mas.. Rini, nafsu mas.. enak…” erangnya.

Suara suara erotic Rini, membuat Parjo yang mendengar samar samar, membuatnya meraba raba selangkangannya sendiri.

Aditya, masih saja, menjilati dan menyedot buah dada istrinya, begitu juga jarinya yang masih terus, merangsang selangkangannya. “mas, celana Rini, di buka aja..” pintanya. Suaminya lalu melepas celana dalam istrinya. Dan melihat vagina, dengan bulu bulu, di atasnya. Bibir vagina yang rapat, dan basah.

Suaminya sudah mengerti kebiasaan Rini. Setelah tubuh Rini, bugil total, Aditya, merenggangkan ke dua belah kakinya. Lalu, dengan lidahnya, dia menjilati vagina istrinya, dengan lembut. “mass, ahh.. Rini.. enak.. . mass…” erangnya. Suaminya terus menjilati vagina istrinya.

Jari jarinya juga tak tinggal diam, jari itu bergerak memasuki liang vagina istri tercintanya maju dan mundur, bergetar lembut, membuat Rini, semakin mendesah desah, menuju puncak birahinya. Lidahnya bermain di klitorisnya, sedang jarinya terus mencolok colok liang vaginanya yang semakin basah.

” ahh …. Mas, Rini udah gak kuat … ahhh” erang Rini, yang semakin mendekati fase orgasmenya. Jilatan suaminya semakin liar, tubuh Rini pun bergetar, mengejang, satu erangan panjang, membawanya ke puncak kenikmatannya.

Saat, Rini terbaring lemas, Aditya membuka pakaiannya. Penisnya tampak sudah tegang. Tanpa perlu komando, Rini segera membelai belai penis suaminya itu, menjilati ujung penisnya yang tegang, membuat suaminya mengerang nikmat. Rini pun mengulum kepala penis suaminya, dengan nafsu.

Kepala Rini, bergerak, maju mundur, dan penis itu mendapat kenikmatan yang tinggi. “oh.. sayang… ohh…” erang suaminya. Permainan Rini yang begitu, hebat, membuat suaminya melepas benihnya di mulutnya. Tak satu tetes yang lepas dari mulut Rini, semuanya tertelan habis.

Kini mereka berbaring bersama, Rini pun kembali menciumi suaminya. Mereka bercumbu kembali, sampai penis Aditya, siap kembali untuk permainan babak kedua.

Kembali Rini, membuka lebar kakinya, memperlihatkan vagina indah miliknya. Suaminya sudah siap, dengan penisnya yang telah menegang, tepat di depan pintu vagina Rini. Perlahan penis itu masuk membelah bibir vagina Rini.
” oh tekan … terus mas ohhh” erang Rini.

Dorongan, demi dorongan, dari penis suaminya, terus membawa kenikmatan bagi Rini
Pantat indahnya ikut bergoyang, selaras dengan goyangan suaminya. Penis Aditya terus bergerak keluar masuk, di iringin desah desah erotis dari bibir indah Rini. Walau udara dingin, tapi peluh tampak membasahi dahi Aditya.

” ohh, Rini aku gak tahan lagi nih …” kata suaminya. Goyangannya pun semakin liar, dan akhirnya tubuhnya ambruk, menindih tubuh istrinya. Dan vagina Rini pun di siram benih benih cinta mereka.

Kedua insan itu pun lemas, mereka tertidur, berpelukan di bawah selimut tebal.

Pagi pagi sekali, Aditya telah terlihat, berjogging di sekeliling villa. Dan Rini, hanya melihat, pemadangan sekeliling villa itu, sambil berjalan pelan. Tiba tiba, matanya kembali menatap, pohon besar yang terlihat angker itu. Tiba tiba Rini meraih kempak, yang tergeletak bersama cangkul milik Parjo.

Sambil menentang kapak itu, Rini mendekati pohon itu. Saat itu terdengar teriakan Parjo” jangannn…. “. Terlambat, kampak itu telak membacok dahan pohon besar itu, kulit pohon itu terluka. Rini terdiam, matanya menatap dahan itu mengeluarkan darah segar.

Parjo berlari menghapiri Rini” kan sudah saya bilang pohon ini tak boleh di gangu” kata Parjo dengan nada tinggi. Rini tak mengubris ocehan Parjo, matanya terus menatap dahan itu yang mengeluarkan darah. “kenapa Rin, ada apa, koq bengong begitu” tanya Aditya. “darah.. darah.. “jawab Rini dangan suara bergetar.

Aditya menghampiri pohon itu, melihat lebih jelas, jarinya mencolek darah itu, menciumnya” Rin, ini cuma getah pohon.. kenapa kamu ?” kata Aditya.

” Lihat, masa harus aku bawa ke lab, untuk membuktikannya, ini getah pohon, warnanya kecoklatan, lihat” kata Aditya sambil memperlihatkan jarinya yang berlumuran getah pohon itu.

Rini pun berjalan, menuju villanya, dia masuk kamar, duduk dengan tenang di pinggir ranjang. “mas, aku merasa ada sesuatu, tentang pohon itu” ujar Rini. “sudah sudah, tenang aja, tidak ada apa apa koq, hanya perasaan kamu saja..” kata suaminya berusaha menenangkan Rini.

Malam hari itu, setelah makan malam, pasangan suami istri itu, masuk ke kamar. Aditya, berbaring di samping Rini. Tangan Rini mengelus elus dada suaminya, tapi sayangnya suaminya sepertinya tak mood malam itu. “Rin, besok saja yah, aku ngantuk sekali” kata Aditya. Rini hanya tersenyum.

Sebentar saja, Aditya telah tiba di alam mimpinya. Sedang mata Rini masih terbelak lebar. Dia hanya diam, matanya menatap langit langit kamarnya.
Tiba tiba Keanehan terjadi, Rini merasakan adanya suara suara yang memanggilnya. Namun ia tidak melihat wujut suara itu. Dengan memanfaatkan indra, pendengarannya, Rini memberanikan diri, melangkahkan kakinya, mencari sumber bunyi itu.

Dia berjalan keluar kamar, suara itu semakin jelas, kakinya terus melangkah, ke arah belakang, suara semakin jelas, dan Rini tiba di pohon angker itu. Pohon itu tampak bersinar ke hijauan. Jelas terlihat Parjo duduk bersila di bawah pohon rindang itu,
Rini diam terpaku.

“Rinnni, ke mari mendekatlah” demikian suara magis itu memanggilnya. Rini pun melangkah dengan gontai. Setelah tubuhnya mendekat pohon itu, Ranting pohon itu bergerak, melilit tangan dan kakinya. Rini tak bisa bergerak. Lilitan pohon sangat kuat

Parjo pun berdiri, dengan wajahnya yang memerah, dan menyeringai seram. Dia mengambil dahan dari pohon angker itu. Satu sabetan telak mendarat di perutnya. Rini menjerit kesakitan, sabetan itu terasa begitu panas dan menyakitkan. “ampun.. tolong lepaskan…” erang Rini.

“aku sudah bilang, jangan gangu pohon ini, kenapa kamu masih nekat” suara Parjo terdengar lantang. “maaf, ampun, saya tidak ganggu lagi, tolong lepaskan saya.. “pinta Rini. Tapi yang di dapat, satu sabetan dahan pohon itu lagi, kali ini punggungnya terasa panas. “sakit… ampunn….” jerit Rini.

Parjo menyeringai sadis, tanganya meraik gaun tidur Rini, merobeknya hingga lepas dari tubuhnya. Mata Parjo liar menatap buah dada Rini yang indah itu. Bekas luka sabetan dahan itu pun jelas terlihat, memanjang di perutnya. Lidah Parjo menjulur, menjilat bekas luka itu, Rini kembali menjerit jerit” perih.. ampun… perih….” erangnya.

Parjo pun, menjilati luka di punggung Rini, membuat Rini mengeluarkan air mata, karena rasa pedih. Luka itu bagai terkena tetesan jeruk nipis. Parjo benar benar menyiksa Rini. Tubuh Rini terasa lemas, karena menangggung beban pedih itu.

Puas dengan siksaannya, Parjo membiarkan tubuh Lemah Rini, yang berdiri, terikat ranting pohon angker itu. Tiba tiba, lidah Parjo menjilati putting susu Rini. Seketika itu juga, birahi Rini menjadi tinggi. Rini mendesah kenikmatan. Lumatan mulut Parjo pada buah dada Rini semakin membuatnya bernafsu. Selangkangan Rini mulai terasa lembab.

Tangan Parjo, perlahan menurunkan celana dalamnya. Dan tiba tiba, jari Parjo menyentuh vaginanya, Parjo tersenyum, merasakan basah vagina Rini. Dan tubuh Rini bagai terkena sengatan listrilk, tubuhnya bergetar, kenikmatan. “Rini.. Rini.. kamu suka … kamu suka Rini..” ujar Parjo. Yang hanya bisa di jawab oleh desahan desahan Rini.

Jari Parjo pun menerobos masuk liang vagina Rini, membuat Rini menjerit. Mulut Parjo melumat buah dada indah milik Rini, sedang jarinya bermain dengan liar, di dalam liang vaginanya. Tubuh Rini tak mampu menahan nikmat yang di berikan Parjo.
Sebentar saja, Parjo telah membawa Rini ke puncak birahinya.

Tubuh Rini mengejang, kemudian dia lemas. Tubuhnya akan ambruk, tapi dahan pohon itu menahan tubuhnya erat.

Parjo pun melepas celananya, memperlihatkan penisnya yang hitam, besar dan panjang. “apa, apa yang, kau kau lakukan…” kata Rini terbata bata. Parjo tersenyum sinis, Tubuhnya mendekat, sebelah kaki Rini dengan mudah di angkatnya, dan dengan sekali hentak, penis besarnya telah masuk ke dalam tubuhnya. Rini menjerit keras.

“Sakkitttt” jeritnya. Parjo hanya tersenyum, senyum kenikmatan. Penis itu bergerak ke luar masuk dengan liar, membuat tubuh Rini terguncang keras. Rini menjerit kesakitan, vaginanya tak terbiasa dengan penis besar itu.

Tapi Parjo terlihat jelas, sangat menikmati tubuh Rini. Dia terus mengoyangkan penisnya. Rini merasakan adanya perubahan, rasa sakitnya hilang, sepertinya vaginanya tiba tiba merasakan nikmat penis Parjo. Rini mengigit bibirnya, rasa nikmat itu dengan cepat menyerang tubuhnya.

Rini tak kuasa, dia mengerang, kenikmatan, seakan akan memberitahukan Parjo, dia menikmati permainan ini. Tubuhnya bergoyang, kepalanya bergerak ke kiri dan kekanan. Parjo terus mengoyang penisnya. “ahhh … ahhh.. aku tak tahan… aku tak tahan…” tiba tiba Rini mengerang. Dan tubuhnya kembali mengejang, mengejet.

Rini orgasme, dan terus Parjo memacu penisnya di dalam liang vagina Rini. Parjo mendengus dengus, menikmati vagina Rini. Tak lama Rini pun kembali mendapat orgasme, yang kemudian di susul oleh Parjo. Rini bisa merasakan jelas, panasnya cairan birahi Parjo, memasuki rahimnya.

Parjo yang telah puas melepaskan tubuh Rini. Dia tersenyum, Tangannya telah kembali memegang dahan yang tadi di gunakan untuk menyabet tubuhnya. “jangan, tolong jangan pukul” ibanya. Parjo tersenyum, tangannya mengusap usap dahan pohon itu, tiba tiba saja, dahan pohon itu membesar.

Lebih besar dari penis Parjo. “kamu bersalah, kamu mesti merasakan hukuman ini” hardik Parjo. Parjo kembali mengangkat sebelah kaki Rini. Dahan pohon yang besar itu di sodok keras ke vaginanya. Rini menjerit keras, Vaginanya terluka, berdarah. Rini menjerit kesakitan. “AHHHH…. SAKITTTT ….”.

Rini terjaga, tubuhnya berkeringat, suaminya pun menenangkannya.

Paginya diam diam, dia menganalisa kejadian semalam, semuanya tampak nyata, tapi dia bermimpi. Tidak ada bekas luka di perut, atau punggungnya. Yang ada jelas, sisa sisa sprema yang membasahi vaginanya. Rini jelas bisa membedakan antara sperma dan cairan vaginanya. Dia benar benar binggung dengan fenomena ini.

” mas, saya pikir lebih baik menjual villa ini” kata Rini, yang mebuat suaminya mengenyitkan dahinya. “jual, kamu gak salah, villa ini peninggalan eyang kamu, masa sih mau di jual?” suaminya bertanya dengan binggung.

” yah, aku serius, bisa bantu aku pasarin villa ini” kata Rini lagi. “yah bisa saja sih, tapi apa kamu yakin mau menjualnya?” tanya suaminya lagi. “yah” jawab Rini singkat

” silakan bu, pak, di minum selagi hangat” kata Parjo yang membawakan dua cangkir tah hangat. Mata Parjo, menatap Rini. Tatapannya itu membuat Rini, tampak tegang, ada sesuatu kekuatan kasat mata, dalam tatapannya.

HP Aditya berbunyi, rupa kabar dari rumah sakit tempatnya bekerja. Rupanya ada pasien gawat yang harus segera ditangani Aditya. Padahal Aditya masih berkeinginan untuk tinggal di sana bersama Rini 3-4 hari lagi.

Suaminya menanyakan pada Rini, mau ikut, atau masih mau di sini. Rini memutuskan untuk tetap di villa itu. Akhirnya Aditya berangkat ke Semarang sendirian. Aditya pun berpesan pada Rini untuk hati hati dan minta Parjo menjaga Rini. Parjo pun dengan senang hati menerima pesan Aditya itu.

Setelah Aditya berangkat pagi itu, Rini pun minta pak Parjo menemaninya meninjau perkebunan milik neneknya. Rini memberanikan diri, toh dia berpikir, ini siang hari, jadi lebih aman. Parjo yang selama ini di beri tugas mengawasi perkebunan itu bersedia mengantar Rini, dengan menaiki bukit yang dipenuhi batang batang kayu yang rindang itu. Selama perjalanan Parjo bertindak sangat sopan dengan Rini.

Mereka berbicara santai, dan anehnya Rini merasa tenang di samping Parjo. Dan Rini mulai merasa suka dengan sikap Parjo, yang jika dilihat dari umurnya, pantas menjadi ayahnya.

Merekapun kembali pulang ke villa dengan menuruni bukit bukit itu. Namun karena kurang hati hati, Rini terpeleset di jalan yang berumputan yang licin karena embun. Dengan sigap, Parjo refleks menangkap tubuh Rini yang hampir bergulingan ke bawah. Tubuh ramping dan berisi itu,jatuh kedalam pelukannya.

Selanjutnya karena takut terpeleset lagi Rini pun minta Parjo untuk membimbing tangannya dengan memegangnya selama penurunan. Kembali Parjo merasakan kehalusan dan kehangatan tangan dokter cantik itu dengan bebas.

Malam harinya, Parjo masuk kedalam ruang utama villa itu. Ia menemukan Rini yang sedang menerima telpon dari suaminya. Mata Parjo menatap tubuh Rini, yang terlihat sexy, dengan gaun tidur pink, agak tipis. Setelah pembicaraannya selesai,

Rini bertanya pada Parjo “ada apa pak Parjo”. “oh engak bu, hanya mengecek, sepertinya kemarin ada bola lampu yang putus” jawab Parjo.

Setelah selesai Parjo mengecek, lampu lampu di ruang utama itu, Parjo pamitan. Tapi Rini memanggilnya. Pak Parjo menghentikan langkahnya. Dan berbalik” ada apa bu..”. “ah, engak cuma mau tanya sedikit” kata Rini, sambil duduk di kursi, antik yang terbuat dari kayu jati.

Mata Parjo menatap, paha putih Rini, yang agak terbuka, karena gaun tidur itu terangkat sedikit. Tapi Rini segera mengantipasi, dia mengabil bantal, sandaran kursi, dan menutup pahanya.

” pak Parjo, saya merasakan ada misteri di balik pohon tua itu, apa pak Parjo menyadarinya?” tanya Rini. “eh, anu, kalau soal itu saya kurang tahu bu, yang saya tahu, eyang bu Rini, wanti wanti pesan sama saya apapun yang terjadi, pohon itu tak boleh di ganggu” pak Parjo menjawab pertanyaan Rini panjang lebar.

Rini pun mendengar keterangan Parjo dengan seksama, Rini juga bertanya tentang mimpi anehnya. Rini bercerita secara detail, membuat Parjo terperangah. “Maksud ibu, saya memperkosa ibu dengan batuan pohon angker itu?” tanya Parjo.

” yah, dalam mimpi itu, tapi mimpi itu begitu nyata” jawab Rini. Parjo menghela nafas,” saya rasa itu cuma bunga tidur bu..” ujar Parjo. “tidak Parjo, otak saya masih mampu berpikir, realistis, ini mimpi yang benar benar aneh” kata Rini.

Parjo diam sesaat, dia menatap Rini, akhirnya dia membuka suara, Parjo mengakui bahwa di villa ini memang ada penunggunya,namun karena telah sering dan lama tinggal di situ ia pun tidak terganggu lagi.

Mereka terus berbincang bincang, sampai agak larut, akhirnya Rini minta diri untuk istirahat karena badannya agak lelah dan mulai ngantuk. Lalu Rini masuk kekamarnya. Ia lalu menyelimuti tubuhnya yang terbaring dengan selimut tebal yang ada dikamar itu.

Beberapa saat kemudian ia tertidur. Namun tidak lama kemudian serasa bermimpi ia melihat pintu jendela kamarnya terkuak dan dahan dahan pohon angker itu merayap cepat, berusaha mendekati ranjangnya dan akan mencekiknya. Rini terbangun dan berteriak teriak minta tolong.

Rini meloncat dari ranjangnya. dan tiba tiba terbagun dari mimpinya, namun ia tak melihat dahan dahan pohon angker itu dan tidak meninggalkan jejak sama sekali. Jendela kamarnya pun tetap tertutup rapi. Mimpi buruk itu semakin membuatnya takut.

Rini yg masih di hinggapi perasaan takut lalu keluar dari kamarnya. Ia berlari dan membuka pintu rumah. Rini langsung berlari ke belakang, mengetuk pintu kamar Parjo. Rini tak berani melihat ke arah pohon angker itu. Begitu daun pintu terbuka,Rini langsung menghambur ke tubuh Parjo dan memeluknya.

Dengan sangat takut ia menangis dan menceritakan apa yang baru saja di alaminya. Parjo dengan bebas lalu membelai rambut Rini. mendudukkan Rini di kursi yang ada di dalam kamarnya. Malam itu Rini tak berani pindah ke dalam kamarnya di rumah villa itu. Rini merasa lebih aman di kamar tidur Parjo.

Seiring malam yang merangkak, Rini kini telah pindah posisi, tidak lagi duduk di kursi, tapi duduk tepat di sebelah Parjo di pingir ranjang. Sambil terus membelai rambut sebahu Rini, Parjo pun mulai berani berbuat lebih. Entah karena udara dan suasana yang dingin atau kesepian Rini yang datang tiba tiba. Parjo tiba tiba saja telah mengulum bibir Rini.

Tanpa menolak, Rini membalas ciuman Parjo, Mata Rini memejam, lidah Rini dengan nakal bermain lincah di dalam mulut Parjo. Tentu saja semuanya di layani Parjo dengan nafsu. Seperti ada yang merasuki tubuhnya, tangan Rini meraba raba selangkangan Parjo, mencari cari penis besarnya, tanpa rasa ragu ataupun malu.

Satu tatapan, tajam bola mata Parjo, memerintahkan Rini berbuat lebih. Sambil berjongkok, melebarkan kakinya, Rini mengulum penis Parjo. yang telah ereksi keras.

Mata Parjo liar, menatap selangkangan Rini yang masih terbungkus celana dalam pinknya. Rini tak memperdulikannya, yang jelas, Rini sangat menikmati, mengulum batang penis Parjo.

Parjo pun mengerang, menikmati sedotan, dan jilatan nafsu Rini. Tanpa merasa lelah, kepala Rini bergerak maju mundur, memberi Parjo kenikmatan. Usaha Rini tak sia sia, Semburan sperma Parjo, memenuhi mulutnya, Semua Spermanya, di telan habis oleh Rini, seperti tanah tandus, yang membutuhkan siraman air, di musim kemarau.

Parjo tersenyum puas, Dia mengangkat, tubuh Rini, melepas baju tidurnya. Dan menatap buah dada bulat padat Rini. Kedua tangan Parjo, meremas buah dada Rini, membuat dia mengerang. Dan jilatan lidah Parjo, di putting susunya membuat birahi Rini semakin meninggi.

Tubuh Rini di baringkan, Parjo pun melepas celana dalam pink Rini. Sambil memegang celana dalam pink itu, Parjo melihat selangkangan celana dalam pink itu.

“hem, anak muda zaman sekarang, baru di jilat sedikit udah basah..” seloroh Parjo. Muka Rini memerah, dia malu, tapi birahinya mengalahkan semua rasa malunya.

Jari telunjuk Parjo bergerak masuk ke liang basah vagina Rini, rasa tersengat aliran listrik di alami secara nyata oleh Rini. Jari itu bergerak, menyodok nyodok liang vaginanya. Rini mengerang ngerang, kenikmatan. Jari Parjo seperti mempunyai kekuatan magis, sebentar saja, tubuh Rini mengejang di buatnya.

Rini mendapat orgasmenya, di sertai jeritan nikmat Rini. Parjo tersenyum puas, melihat tubuh Rini, mengejang, dengan nafas tersengal sengal. Sekarang penis Parjo telah berhapan dengan vagina Rini. Ujung penis itu telah menyetuh bibir vagina Rini.
Parjo menghentak, jerit Rini terdengar keras.

Penis itu bergerak cepat, keluar masuk liang vagina Rini. Kedua tangan Rini mencengkram erat bahu Parjo, seakan tak mau melepaskan tubuh Parjo, yang tengah menyetubuhinya. Rini terus mengerang kenikmatan, dan Rini pun kembali mendapat orgasme. Parjo tampak masih belum apa apa, Penis besarnya masih terus bergerak cepat, menghentak liang vagina Rini.

Semua bagian tubuh Rini, seakan menjadi begitu sensitif, Bibir vaginanya seakan menebal, klitorisnya membesar, karena nafsu birahinya. Didalam kamar Parjo itu, entah berapa kali Rini mendaki puncak orgasme yang dihantarkan Pak Parjo. Ia seakan kewalahan mengalahkan gairah laki laki tua itu.

Saat saat, dimana Rini sudah sangat lemas, Parjo pun melepaskan seluruh cairan birahinya. Liang vagina Rini, terasa hangat, oleh sperma Parjo. Saat sebelum Parjo mencabut batang penisnya, Parjo masih merasakan denyut denyut dinding vagina Rini, meremas batang penisnya.

Malam itu Rini, terlelap dalam pelukan seorang Parjo. Tidak ada mimpi seram. Hanya kenikmatan sexual yang mengairahakan Rini.

Selama beberapa hari kemudian menjelang di jemput suaminya Rini selalu ditemani Parjo. Rini pun akhirnya berani tidur dikamarnya itu karena ada yg menemaninya yaitu Parjo. Selama Parjo menemaninya, Rini selalu di hibur Parjo dengan kemesraan dan menghantarkannya ke puncak hubungan pria dan wanita seutuhnya. Parjo pun dengan bebas telah menumpahkan cairan birahinya di dalam rahim Rini.

Rini mengurungkan, niat untuk menjual villa warisan itu. “nah, aku juga bilang apa, masa villa warisan di jual” ujar suaminya, saat akan menjemput istrinya.

“iyah, mas pikir pikir sayang juga, biarlah Pak Parjo yang bantu urus villa ini” kata Rini. “Iyah bu Rini, saya selalu akan menjaga villa ini” kata Parjo. “lagian kalau week end kita bisa main ke sini mas” kata Rini lagi. Aditya hanya tersenyum” iyah, ayo sudah mau berangkat belum..” tanya suaminya.

“sudah mas, tunggu sebentar yah, aku mau ambil koper dulu, ada satu ketinggalan. , mas tunggu di sini yah” kata Rini. Suaminya mengangguk. “ayo pak Parjo, bantu saya” kata Rini.

Parjo mengikuti Rini yang masuk ke dalam Villa. Dan terus masuk ke kamar. Ada sebuah koper besar merah di sana. Rini duduk di atas koper itu, sambil tersenyum genit, Rini melebarkan kakinya. Memperlihatkan celana dalam hitamnya pada Parjo.

Tangan Rini menyibak celana dalamnya, “Parjo, tolong beri aku kenikmatan, sebelum aku pulang” pintanya.

Parjo tersenyum, dia jongkok, menjilati vagina Rini. Rini mengigit bibirnya. Setelah vagina itu di buat basah oleh Parjo, dengan jari telunjuknya, Bergerak menyodok nyodok liang vaginanya, Rini di buat orgasme.

“Terima kasih Parjo, minggu depan aku akan kemari” ujar Rini. Parjo pun tersenyum, dan mengangkat koper besar itu membawanya, dan meletakkan di bagasi mobil mereka. Pasangan suami istri segera melaju pulang.

Rini menyadari telah berbuat curang pada Aditya. Tapi, belum pernah dia bermain sex, sedasyat ini. Rini selalu ingin mengulangi lagi, persetubuhan dengan Parjo. Rini selalu merindukan ke hangatan Parjo.

Cerita Dewasa 8 (Aditya dan Dr. Rini)

Di usianya yang baru 25 tahun, Rini sudah menjadi seorang Dokter. Telah menikah dengan Aditya, yang juga seorang Dokter. Usia Rini terpaut tiga tahun dari suaminya Pasangan ini belum dikaruniai anak,mereka baru menikah selama 2 tahun.

Suatu hari, Rini di khabari oleh kerabatnya bahwa neneknya yg berada di kota Solo telah meninggal dunia. Berita itu sangat membuatnya sedih karena sang nenek lah yang membesarkannya dan mendidiknya. Karena saat ia berusia 12 tahun, Rini telah di tinggalkan kedua orang tuanya yang tewas saat kecelakaan mobil

Keluarganya terbilang keluarga yang berada dan berdarah ningrat. karena tidak ada yang mewarisi kekayaan orang tuanya, juga harta yang ditinggalkan neneknya. Rini menjadi pewaris tunggal harta harta itu. Salah satunya adalah sebuah Villa yang berada di daerah wisata Tawangmangu.

Setelah pemakaman neneknya dan besilaturahmi dengan kerabatnya maka Rini pun berkunjung ke villa neneknya di Tawangmangu itu.

Dihari yg telah di rencanakannya itu Rini bersama suaminya Aditya mengunjungi villanya itu. Villa yang besar itu, selamai ini di jaga oleh Parjo. Usianya kira kira 55 tahun. Seorang laki laki penduduk sekitar yang telah cukup lama bekerja pada neneknya. Parjo juga di beri amanah untuk mengurus villa dan perkebunan keluarga itu.

Hari itu, seperti yang direncanakan Rini dan suaminya akan bermalam disitu untuk beberapa hari. Kebetulan mereka telah mengambil cuti. Pasangan ini pun selalu terkesan amat mesra dan romantis. Maklum mereka pasangan muda, yang belum lama menikah.

Sore hari itu, Rini dan suaminya di temani Parjo berkeliling, Villa besar itu. Di kebun belakang villa itu, dekat paviliun, tempat Parjo tinggal, mata Rini menangkap, image pohon besar, yang rindang. Dengan akar akarnya yang sebagian keluar dari dalam tanah. seperti tak terawat. Di sana ada taburan bunga bunga.

“pak Parjo, pohon apa ini, koq tampaknya tak terawat” tanya Rini. “oh, ini pohon sudah tua sekali, yah memang dari dulu sudah begitu, dari zaman eyang non Rini” jawab Parjo. “wah, sepertinya merusak pemandangan, tebang saja pak Parjo” kata Rini lagi. “oh JANGAN.. “jawab pak Parjo keras.

Rini terkejut mendengar jawaban pak Parjo. Suaminya juga menatap pak Parjo.
” maaf, maksud saya, eyang non pernah berpesan, tidak boleh di tebang” jawab pak Parjo. Rini diam saja, kemudian, berjalan kembali ke depan, bersama suaminya.

” mas, aku gak suka sama pohon itu, bulu kudukku merinding, sepertinya ada sesuatu di situ” ujar Rini pada suaminya. “Rini, Rini, makanya kalau nonton TV, jangan acara mistis yang di tonton, kamu itu seorang dokter, pakai logika dong” jawab suaminya enteng. Rini menatap suaminya, matanya melotot.

Suaminya pun tersenyum, lalu melumat bibir Rini,” ah, udeh deh..” kata Rini. “yah sudah, kalau gak suka yah kamu tebang saja, nanti..” kata Suaminya.

Udara dingin, di kawasan itu, membuat mereka bercumbu di malam itu. Di mulai dengan ciuman ciuman mesra dari suaminya, serta rabaan lembut di paha mulus Rini.
Baju tidur Rini, tanpa terasa, mulai tersingkap. Menampakkan kedua paha mulusnya, serta pangkal pahanya yang masih terbalut celana dalam putih. Bukan hanya mata suaminya yang melihat, tanpa sepengetahuan mereka ada sepasang mata yang mengintip, sepasang mata milik Parjo.

Satu sentuhan jari Suaminya, di selangkangan Rini, membuatnya mendesah keras. Jari itu terus bermain di atas celana dalamnya. Bercak bercak basahan mulai tampak di selangkangan celana dalam Rini.

Dengan cepat Rini melepas baju tidurnya, menyodorkan buah dadanya yang bulat padat, dengan putting memerah, telah menonjol keras, ke mulut suaminya. “mas, mau nete dong.. “kata Rini dengan nafsu. Mulut Suaminya, pun menyedot putting susunya. “ohhh … mas.. Rini, nafsu mas.. enak…” erangnya.

Suara suara erotic Rini, membuat Parjo yang mendengar samar samar, membuatnya meraba raba selangkangannya sendiri.

Aditya, masih saja, menjilati dan menyedot buah dada istrinya, begitu juga jarinya yang masih terus, merangsang selangkangannya. “mas, celana Rini, di buka aja..” pintanya. Suaminya lalu melepas celana dalam istrinya. Dan melihat vagina, dengan bulu bulu, di atasnya. Bibir vagina yang rapat, dan basah.

Suaminya sudah mengerti kebiasaan Rini. Setelah tubuh Rini, bugil total, Aditya, merenggangkan ke dua belah kakinya. Lalu, dengan lidahnya, dia menjilati vagina istrinya, dengan lembut. “mass, ahh.. Rini.. enak.. . mass…” erangnya. Suaminya terus menjilati vagina istrinya.

Jari jarinya juga tak tinggal diam, jari itu bergerak memasuki liang vagina istri tercintanya maju dan mundur, bergetar lembut, membuat Rini, semakin mendesah desah, menuju puncak birahinya. Lidahnya bermain di klitorisnya, sedang jarinya terus mencolok colok liang vaginanya yang semakin basah.

” ahh …. Mas, Rini udah gak kuat … ahhh” erang Rini, yang semakin mendekati fase orgasmenya. Jilatan suaminya semakin liar, tubuh Rini pun bergetar, mengejang, satu erangan panjang, membawanya ke puncak kenikmatannya.

Saat, Rini terbaring lemas, Aditya membuka pakaiannya. Penisnya tampak sudah tegang. Tanpa perlu komando, Rini segera membelai belai penis suaminya itu, menjilati ujung penisnya yang tegang, membuat suaminya mengerang nikmat. Rini pun mengulum kepala penis suaminya, dengan nafsu.

Kepala Rini, bergerak, maju mundur, dan penis itu mendapat kenikmatan yang tinggi. “oh.. sayang… ohh…” erang suaminya. Permainan Rini yang begitu, hebat, membuat suaminya melepas benihnya di mulutnya. Tak satu tetes yang lepas dari mulut Rini, semuanya tertelan habis.

Kini mereka berbaring bersama, Rini pun kembali menciumi suaminya. Mereka bercumbu kembali, sampai penis Aditya, siap kembali untuk permainan babak kedua.

Kembali Rini, membuka lebar kakinya, memperlihatkan vagina indah miliknya. Suaminya sudah siap, dengan penisnya yang telah menegang, tepat di depan pintu vagina Rini. Perlahan penis itu masuk membelah bibir vagina Rini.
” oh tekan … terus mas ohhh” erang Rini.

Dorongan, demi dorongan, dari penis suaminya, terus membawa kenikmatan bagi Rini
Pantat indahnya ikut bergoyang, selaras dengan goyangan suaminya. Penis Aditya terus bergerak keluar masuk, di iringin desah desah erotis dari bibir indah Rini. Walau udara dingin, tapi peluh tampak membasahi dahi Aditya.

” ohh, Rini aku gak tahan lagi nih …” kata suaminya. Goyangannya pun semakin liar, dan akhirnya tubuhnya ambruk, menindih tubuh istrinya. Dan vagina Rini pun di siram benih benih cinta mereka.

Kedua insan itu pun lemas, mereka tertidur, berpelukan di bawah selimut tebal.

Pagi pagi sekali, Aditya telah terlihat, berjogging di sekeliling villa. Dan Rini, hanya melihat, pemadangan sekeliling villa itu, sambil berjalan pelan. Tiba tiba, matanya kembali menatap, pohon besar yang terlihat angker itu. Tiba tiba Rini meraih kempak, yang tergeletak bersama cangkul milik Parjo.

Sambil menentang kapak itu, Rini mendekati pohon itu. Saat itu terdengar teriakan Parjo” jangannn…. “. Terlambat, kampak itu telak membacok dahan pohon besar itu, kulit pohon itu terluka. Rini terdiam, matanya menatap dahan itu mengeluarkan darah segar.

Parjo berlari menghapiri Rini” kan sudah saya bilang pohon ini tak boleh di gangu” kata Parjo dengan nada tinggi. Rini tak mengubris ocehan Parjo, matanya terus menatap dahan itu yang mengeluarkan darah. “kenapa Rin, ada apa, koq bengong begitu” tanya Aditya. “darah.. darah.. “jawab Rini dangan suara bergetar.

Aditya menghampiri pohon itu, melihat lebih jelas, jarinya mencolek darah itu, menciumnya” Rin, ini cuma getah pohon.. kenapa kamu ?” kata Aditya.

” Lihat, masa harus aku bawa ke lab, untuk membuktikannya, ini getah pohon, warnanya kecoklatan, lihat” kata Aditya sambil memperlihatkan jarinya yang berlumuran getah pohon itu.

Rini pun berjalan, menuju villanya, dia masuk kamar, duduk dengan tenang di pinggir ranjang. “mas, aku merasa ada sesuatu, tentang pohon itu” ujar Rini. “sudah sudah, tenang aja, tidak ada apa apa koq, hanya perasaan kamu saja..” kata suaminya berusaha menenangkan Rini.

Malam hari itu, setelah makan malam, pasangan suami istri itu, masuk ke kamar. Aditya, berbaring di samping Rini. Tangan Rini mengelus elus dada suaminya, tapi sayangnya suaminya sepertinya tak mood malam itu. “Rin, besok saja yah, aku ngantuk sekali” kata Aditya. Rini hanya tersenyum.

Sebentar saja, Aditya telah tiba di alam mimpinya. Sedang mata Rini masih terbelak lebar. Dia hanya diam, matanya menatap langit langit kamarnya.
Tiba tiba Keanehan terjadi, Rini merasakan adanya suara suara yang memanggilnya. Namun ia tidak melihat wujut suara itu. Dengan memanfaatkan indra, pendengarannya, Rini memberanikan diri, melangkahkan kakinya, mencari sumber bunyi itu.

Dia berjalan keluar kamar, suara itu semakin jelas, kakinya terus melangkah, ke arah belakang, suara semakin jelas, dan Rini tiba di pohon angker itu. Pohon itu tampak bersinar ke hijauan. Jelas terlihat Parjo duduk bersila di bawah pohon rindang itu,
Rini diam terpaku.

“Rinnni, ke mari mendekatlah” demikian suara magis itu memanggilnya. Rini pun melangkah dengan gontai. Setelah tubuhnya mendekat pohon itu, Ranting pohon itu bergerak, melilit tangan dan kakinya. Rini tak bisa bergerak. Lilitan pohon sangat kuat

Parjo pun berdiri, dengan wajahnya yang memerah, dan menyeringai seram. Dia mengambil dahan dari pohon angker itu. Satu sabetan telak mendarat di perutnya. Rini menjerit kesakitan, sabetan itu terasa begitu panas dan menyakitkan. “ampun.. tolong lepaskan…” erang Rini.

“aku sudah bilang, jangan gangu pohon ini, kenapa kamu masih nekat” suara Parjo terdengar lantang. “maaf, ampun, saya tidak ganggu lagi, tolong lepaskan saya.. “pinta Rini. Tapi yang di dapat, satu sabetan dahan pohon itu lagi, kali ini punggungnya terasa panas. “sakit… ampunn….” jerit Rini.

Parjo menyeringai sadis, tanganya meraik gaun tidur Rini, merobeknya hingga lepas dari tubuhnya. Mata Parjo liar menatap buah dada Rini yang indah itu. Bekas luka sabetan dahan itu pun jelas terlihat, memanjang di perutnya. Lidah Parjo menjulur, menjilat bekas luka itu, Rini kembali menjerit jerit” perih.. ampun… perih….” erangnya.

Parjo pun, menjilati luka di punggung Rini, membuat Rini mengeluarkan air mata, karena rasa pedih. Luka itu bagai terkena tetesan jeruk nipis. Parjo benar benar menyiksa Rini. Tubuh Rini terasa lemas, karena menangggung beban pedih itu.

Puas dengan siksaannya, Parjo membiarkan tubuh Lemah Rini, yang berdiri, terikat ranting pohon angker itu. Tiba tiba, lidah Parjo menjilati putting susu Rini. Seketika itu juga, birahi Rini menjadi tinggi. Rini mendesah kenikmatan. Lumatan mulut Parjo pada buah dada Rini semakin membuatnya bernafsu. Selangkangan Rini mulai terasa lembab.

Tangan Parjo, perlahan menurunkan celana dalamnya. Dan tiba tiba, jari Parjo menyentuh vaginanya, Parjo tersenyum, merasakan basah vagina Rini. Dan tubuh Rini bagai terkena sengatan listrilk, tubuhnya bergetar, kenikmatan. “Rini.. Rini.. kamu suka … kamu suka Rini..” ujar Parjo. Yang hanya bisa di jawab oleh desahan desahan Rini.

Jari Parjo pun menerobos masuk liang vagina Rini, membuat Rini menjerit. Mulut Parjo melumat buah dada indah milik Rini, sedang jarinya bermain dengan liar, di dalam liang vaginanya. Tubuh Rini tak mampu menahan nikmat yang di berikan Parjo.
Sebentar saja, Parjo telah membawa Rini ke puncak birahinya.

Tubuh Rini mengejang, kemudian dia lemas. Tubuhnya akan ambruk, tapi dahan pohon itu menahan tubuhnya erat.

Parjo pun melepas celananya, memperlihatkan penisnya yang hitam, besar dan panjang. “apa, apa yang, kau kau lakukan…” kata Rini terbata bata. Parjo tersenyum sinis, Tubuhnya mendekat, sebelah kaki Rini dengan mudah di angkatnya, dan dengan sekali hentak, penis besarnya telah masuk ke dalam tubuhnya. Rini menjerit keras.

“Sakkitttt” jeritnya. Parjo hanya tersenyum, senyum kenikmatan. Penis itu bergerak ke luar masuk dengan liar, membuat tubuh Rini terguncang keras. Rini menjerit kesakitan, vaginanya tak terbiasa dengan penis besar itu.

Tapi Parjo terlihat jelas, sangat menikmati tubuh Rini. Dia terus mengoyangkan penisnya. Rini merasakan adanya perubahan, rasa sakitnya hilang, sepertinya vaginanya tiba tiba merasakan nikmat penis Parjo. Rini mengigit bibirnya, rasa nikmat itu dengan cepat menyerang tubuhnya.

Rini tak kuasa, dia mengerang, kenikmatan, seakan akan memberitahukan Parjo, dia menikmati permainan ini. Tubuhnya bergoyang, kepalanya bergerak ke kiri dan kekanan. Parjo terus mengoyang penisnya. “ahhh … ahhh.. aku tak tahan… aku tak tahan…” tiba tiba Rini mengerang. Dan tubuhnya kembali mengejang, mengejet.

Rini orgasme, dan terus Parjo memacu penisnya di dalam liang vagina Rini. Parjo mendengus dengus, menikmati vagina Rini. Tak lama Rini pun kembali mendapat orgasme, yang kemudian di susul oleh Parjo. Rini bisa merasakan jelas, panasnya cairan birahi Parjo, memasuki rahimnya.

Parjo yang telah puas melepaskan tubuh Rini. Dia tersenyum, Tangannya telah kembali memegang dahan yang tadi di gunakan untuk menyabet tubuhnya. “jangan, tolong jangan pukul” ibanya. Parjo tersenyum, tangannya mengusap usap dahan pohon itu, tiba tiba saja, dahan pohon itu membesar.

Lebih besar dari penis Parjo. “kamu bersalah, kamu mesti merasakan hukuman ini” hardik Parjo. Parjo kembali mengangkat sebelah kaki Rini. Dahan pohon yang besar itu di sodok keras ke vaginanya. Rini menjerit keras, Vaginanya terluka, berdarah. Rini menjerit kesakitan. “AHHHH…. SAKITTTT ….”.

Rini terjaga, tubuhnya berkeringat, suaminya pun menenangkannya.

Paginya diam diam, dia menganalisa kejadian semalam, semuanya tampak nyata, tapi dia bermimpi. Tidak ada bekas luka di perut, atau punggungnya. Yang ada jelas, sisa sisa sprema yang membasahi vaginanya. Rini jelas bisa membedakan antara sperma dan cairan vaginanya. Dia benar benar binggung dengan fenomena ini.

” mas, saya pikir lebih baik menjual villa ini” kata Rini, yang mebuat suaminya mengenyitkan dahinya. “jual, kamu gak salah, villa ini peninggalan eyang kamu, masa sih mau di jual?” suaminya bertanya dengan binggung.

” yah, aku serius, bisa bantu aku pasarin villa ini” kata Rini lagi. “yah bisa saja sih, tapi apa kamu yakin mau menjualnya?” tanya suaminya lagi. “yah” jawab Rini singkat

” silakan bu, pak, di minum selagi hangat” kata Parjo yang membawakan dua cangkir tah hangat. Mata Parjo, menatap Rini. Tatapannya itu membuat Rini, tampak tegang, ada sesuatu kekuatan kasat mata, dalam tatapannya.

HP Aditya berbunyi, rupa kabar dari rumah sakit tempatnya bekerja. Rupanya ada pasien gawat yang harus segera ditangani Aditya. Padahal Aditya masih berkeinginan untuk tinggal di sana bersama Rini 3-4 hari lagi.

Suaminya menanyakan pada Rini, mau ikut, atau masih mau di sini. Rini memutuskan untuk tetap di villa itu. Akhirnya Aditya berangkat ke Semarang sendirian. Aditya pun berpesan pada Rini untuk hati hati dan minta Parjo menjaga Rini. Parjo pun dengan senang hati menerima pesan Aditya itu.

Setelah Aditya berangkat pagi itu, Rini pun minta pak Parjo menemaninya meninjau perkebunan milik neneknya. Rini memberanikan diri, toh dia berpikir, ini siang hari, jadi lebih aman. Parjo yang selama ini di beri tugas mengawasi perkebunan itu bersedia mengantar Rini, dengan menaiki bukit yang dipenuhi batang batang kayu yang rindang itu. Selama perjalanan Parjo bertindak sangat sopan dengan Rini.

Mereka berbicara santai, dan anehnya Rini merasa tenang di samping Parjo. Dan Rini mulai merasa suka dengan sikap Parjo, yang jika dilihat dari umurnya, pantas menjadi ayahnya.

Merekapun kembali pulang ke villa dengan menuruni bukit bukit itu. Namun karena kurang hati hati, Rini terpeleset di jalan yang berumputan yang licin karena embun. Dengan sigap, Parjo refleks menangkap tubuh Rini yang hampir bergulingan ke bawah. Tubuh ramping dan berisi itu,jatuh kedalam pelukannya.

Selanjutnya karena takut terpeleset lagi Rini pun minta Parjo untuk membimbing tangannya dengan memegangnya selama penurunan. Kembali Parjo merasakan kehalusan dan kehangatan tangan dokter cantik itu dengan bebas.

Malam harinya, Parjo masuk kedalam ruang utama villa itu. Ia menemukan Rini yang sedang menerima telpon dari suaminya. Mata Parjo menatap tubuh Rini, yang terlihat sexy, dengan gaun tidur pink, agak tipis. Setelah pembicaraannya selesai,

Rini bertanya pada Parjo “ada apa pak Parjo”. “oh engak bu, hanya mengecek, sepertinya kemarin ada bola lampu yang putus” jawab Parjo.

Setelah selesai Parjo mengecek, lampu lampu di ruang utama itu, Parjo pamitan. Tapi Rini memanggilnya. Pak Parjo menghentikan langkahnya. Dan berbalik” ada apa bu..”. “ah, engak cuma mau tanya sedikit” kata Rini, sambil duduk di kursi, antik yang terbuat dari kayu jati.

Mata Parjo menatap, paha putih Rini, yang agak terbuka, karena gaun tidur itu terangkat sedikit. Tapi Rini segera mengantipasi, dia mengabil bantal, sandaran kursi, dan menutup pahanya.

” pak Parjo, saya merasakan ada misteri di balik pohon tua itu, apa pak Parjo menyadarinya?” tanya Rini. “eh, anu, kalau soal itu saya kurang tahu bu, yang saya tahu, eyang bu Rini, wanti wanti pesan sama saya apapun yang terjadi, pohon itu tak boleh di ganggu” pak Parjo menjawab pertanyaan Rini panjang lebar.

Rini pun mendengar keterangan Parjo dengan seksama, Rini juga bertanya tentang mimpi anehnya. Rini bercerita secara detail, membuat Parjo terperangah. “Maksud ibu, saya memperkosa ibu dengan batuan pohon angker itu?” tanya Parjo.

” yah, dalam mimpi itu, tapi mimpi itu begitu nyata” jawab Rini. Parjo menghela nafas,” saya rasa itu cuma bunga tidur bu..” ujar Parjo. “tidak Parjo, otak saya masih mampu berpikir, realistis, ini mimpi yang benar benar aneh” kata Rini.

Parjo diam sesaat, dia menatap Rini, akhirnya dia membuka suara, Parjo mengakui bahwa di villa ini memang ada penunggunya,namun karena telah sering dan lama tinggal di situ ia pun tidak terganggu lagi.

Mereka terus berbincang bincang, sampai agak larut, akhirnya Rini minta diri untuk istirahat karena badannya agak lelah dan mulai ngantuk. Lalu Rini masuk kekamarnya. Ia lalu menyelimuti tubuhnya yang terbaring dengan selimut tebal yang ada dikamar itu.

Beberapa saat kemudian ia tertidur. Namun tidak lama kemudian serasa bermimpi ia melihat pintu jendela kamarnya terkuak dan dahan dahan pohon angker itu merayap cepat, berusaha mendekati ranjangnya dan akan mencekiknya. Rini terbangun dan berteriak teriak minta tolong.

Rini meloncat dari ranjangnya. dan tiba tiba terbagun dari mimpinya, namun ia tak melihat dahan dahan pohon angker itu dan tidak meninggalkan jejak sama sekali. Jendela kamarnya pun tetap tertutup rapi. Mimpi buruk itu semakin membuatnya takut.

Rini yg masih di hinggapi perasaan takut lalu keluar dari kamarnya. Ia berlari dan membuka pintu rumah. Rini langsung berlari ke belakang, mengetuk pintu kamar Parjo. Rini tak berani melihat ke arah pohon angker itu. Begitu daun pintu terbuka,Rini langsung menghambur ke tubuh Parjo dan memeluknya.

Dengan sangat takut ia menangis dan menceritakan apa yang baru saja di alaminya. Parjo dengan bebas lalu membelai rambut Rini. mendudukkan Rini di kursi yang ada di dalam kamarnya. Malam itu Rini tak berani pindah ke dalam kamarnya di rumah villa itu. Rini merasa lebih aman di kamar tidur Parjo.

Seiring malam yang merangkak, Rini kini telah pindah posisi, tidak lagi duduk di kursi, tapi duduk tepat di sebelah Parjo di pingir ranjang. Sambil terus membelai rambut sebahu Rini, Parjo pun mulai berani berbuat lebih. Entah karena udara dan suasana yang dingin atau kesepian Rini yang datang tiba tiba. Parjo tiba tiba saja telah mengulum bibir Rini.

Tanpa menolak, Rini membalas ciuman Parjo, Mata Rini memejam, lidah Rini dengan nakal bermain lincah di dalam mulut Parjo. Tentu saja semuanya di layani Parjo dengan nafsu. Seperti ada yang merasuki tubuhnya, tangan Rini meraba raba selangkangan Parjo, mencari cari penis besarnya, tanpa rasa ragu ataupun malu.

Satu tatapan, tajam bola mata Parjo, memerintahkan Rini berbuat lebih. Sambil berjongkok, melebarkan kakinya, Rini mengulum penis Parjo. yang telah ereksi keras.

Mata Parjo liar, menatap selangkangan Rini yang masih terbungkus celana dalam pinknya. Rini tak memperdulikannya, yang jelas, Rini sangat menikmati, mengulum batang penis Parjo.

Parjo pun mengerang, menikmati sedotan, dan jilatan nafsu Rini. Tanpa merasa lelah, kepala Rini bergerak maju mundur, memberi Parjo kenikmatan. Usaha Rini tak sia sia, Semburan sperma Parjo, memenuhi mulutnya, Semua Spermanya, di telan habis oleh Rini, seperti tanah tandus, yang membutuhkan siraman air, di musim kemarau.

Parjo tersenyum puas, Dia mengangkat, tubuh Rini, melepas baju tidurnya. Dan menatap buah dada bulat padat Rini. Kedua tangan Parjo, meremas buah dada Rini, membuat dia mengerang. Dan jilatan lidah Parjo, di putting susunya membuat birahi Rini semakin meninggi.

Tubuh Rini di baringkan, Parjo pun melepas celana dalam pink Rini. Sambil memegang celana dalam pink itu, Parjo melihat selangkangan celana dalam pink itu.

“hem, anak muda zaman sekarang, baru di jilat sedikit udah basah..” seloroh Parjo. Muka Rini memerah, dia malu, tapi birahinya mengalahkan semua rasa malunya.

Jari telunjuk Parjo bergerak masuk ke liang basah vagina Rini, rasa tersengat aliran listrik di alami secara nyata oleh Rini. Jari itu bergerak, menyodok nyodok liang vaginanya. Rini mengerang ngerang, kenikmatan. Jari Parjo seperti mempunyai kekuatan magis, sebentar saja, tubuh Rini mengejang di buatnya.

Rini mendapat orgasmenya, di sertai jeritan nikmat Rini. Parjo tersenyum puas, melihat tubuh Rini, mengejang, dengan nafas tersengal sengal. Sekarang penis Parjo telah berhapan dengan vagina Rini. Ujung penis itu telah menyetuh bibir vagina Rini.
Parjo menghentak, jerit Rini terdengar keras.

Penis itu bergerak cepat, keluar masuk liang vagina Rini. Kedua tangan Rini mencengkram erat bahu Parjo, seakan tak mau melepaskan tubuh Parjo, yang tengah menyetubuhinya. Rini terus mengerang kenikmatan, dan Rini pun kembali mendapat orgasme. Parjo tampak masih belum apa apa, Penis besarnya masih terus bergerak cepat, menghentak liang vagina Rini.

Semua bagian tubuh Rini, seakan menjadi begitu sensitif, Bibir vaginanya seakan menebal, klitorisnya membesar, karena nafsu birahinya. Didalam kamar Parjo itu, entah berapa kali Rini mendaki puncak orgasme yang dihantarkan Pak Parjo. Ia seakan kewalahan mengalahkan gairah laki laki tua itu.

Saat saat, dimana Rini sudah sangat lemas, Parjo pun melepaskan seluruh cairan birahinya. Liang vagina Rini, terasa hangat, oleh sperma Parjo. Saat sebelum Parjo mencabut batang penisnya, Parjo masih merasakan denyut denyut dinding vagina Rini, meremas batang penisnya.

Malam itu Rini, terlelap dalam pelukan seorang Parjo. Tidak ada mimpi seram. Hanya kenikmatan sexual yang mengairahakan Rini.

Selama beberapa hari kemudian menjelang di jemput suaminya Rini selalu ditemani Parjo. Rini pun akhirnya berani tidur dikamarnya itu karena ada yg menemaninya yaitu Parjo. Selama Parjo menemaninya, Rini selalu di hibur Parjo dengan kemesraan dan menghantarkannya ke puncak hubungan pria dan wanita seutuhnya. Parjo pun dengan bebas telah menumpahkan cairan birahinya di dalam rahim Rini.

Rini mengurungkan, niat untuk menjual villa warisan itu. “nah, aku juga bilang apa, masa villa warisan di jual” ujar suaminya, saat akan menjemput istrinya.

“iyah, mas pikir pikir sayang juga, biarlah Pak Parjo yang bantu urus villa ini” kata Rini. “Iyah bu Rini, saya selalu akan menjaga villa ini” kata Parjo. “lagian kalau week end kita bisa main ke sini mas” kata Rini lagi. Aditya hanya tersenyum” iyah, ayo sudah mau berangkat belum..” tanya suaminya.

“sudah mas, tunggu sebentar yah, aku mau ambil koper dulu, ada satu ketinggalan. , mas tunggu di sini yah” kata Rini. Suaminya mengangguk. “ayo pak Parjo, bantu saya” kata Rini.

Parjo mengikuti Rini yang masuk ke dalam Villa. Dan terus masuk ke kamar. Ada sebuah koper besar merah di sana. Rini duduk di atas koper itu, sambil tersenyum genit, Rini melebarkan kakinya. Memperlihatkan celana dalam hitamnya pada Parjo.

Tangan Rini menyibak celana dalamnya, “Parjo, tolong beri aku kenikmatan, sebelum aku pulang” pintanya.

Parjo tersenyum, dia jongkok, menjilati vagina Rini. Rini mengigit bibirnya. Setelah vagina itu di buat basah oleh Parjo, dengan jari telunjuknya, Bergerak menyodok nyodok liang vaginanya, Rini di buat orgasme.

“Terima kasih Parjo, minggu depan aku akan kemari” ujar Rini. Parjo pun tersenyum, dan mengangkat koper besar itu membawanya, dan meletakkan di bagasi mobil mereka. Pasangan suami istri segera melaju pulang.

Rini menyadari telah berbuat curang pada Aditya. Tapi, belum pernah dia bermain sex, sedasyat ini. Rini selalu ingin mengulangi lagi, persetubuhan dengan Parjo. Rini selalu merindukan ke hangatan Parjo.

Cerita Dewasa (Dukun Cabul)

“Dewi, gua dengar, di daerah dusun luar kota ada orang pinter yang hebat loe, eloe coba aja ke sana, mungkin dia bisa bantu” begitu kata Cindy teman kantorku. Aku menatapnya dan berkata “sekarang udah zaman komputer, masa sih eloe nyuruh gua percaya, sama dukun?” kataKu dengan arogan.

“loh, apa salahnya di coba, apa loe mau sendiri terus, Ki Bejo itu dukun hebat, sudah banyak yang berhasil” kata Cindy lagi.

Aku diam, pikiranku menerawang jauh, memang aku tak penah mau jadi perwan tua, umurku sudah 30 tahun, tapi tak ada seorang cowokku yang tertarik padaKu. Padahal, aku tidak jelek. wajahku ayu, kulitku putih. Latar belakang pendidikanKu juga tidak jelek, dengan S1 ekonomi. Aku juga dari keluarga baik baik, dengan ekonomi cukup mapan.

“eh koq melamun sih” kata Cindy lagi. “ah engak koq, aku lagi mikirin, kerjaan, besok bos mau meeting” kataku asal jawab. “ah, eloe, kerjaan mulu, eloe mesti pikirin juga diri eleo dong, lihat gua, umur gua lebih mudah dari eleo, anak gua udah dua, kapan eloe mau punya anak, Dewi, Dewi…” kata Cindy yang terus nyerocos kaya senapan mesin.

Aku masih diam, mendengar nasehat teman baikku ini. “udah deh, eloe coba konsultasi ama Ki Bejo, nih alamatnya” kata Cindy lalu menyebutkan alamat Ki Bejo. Aku pura pura, acuh, tapi otakku mememori seluruh ucapannya.

“Dewi, kalau mau, gua akan temanin eloe pergi ke sana” kata Cindy lagi. “udah deh, Cindy, gua gak percaya ama gitu gituan” , kataKu. Cindy menghela nafas, “yah, sudah deh, tapi kalau eloe berubah pikiran eloe bilang aja yah.

Cerita Dewasa 7 (Debbie dan Lucy)

Sebut saja namanya Debbie umur 35 tahun dan Lucy 33 tahun. Seperti yang sudah-sudah, aku mengenal sosok Debbie dari seringnya aku online sebagai chatter.
Aku bisa menilai, Debbie adalah sosok yang hot dalam bercinta. Dengan ciri-ciri 170/65, berdada sintal, berpinggul sexy dan kelihatan sekali dia adalah seorang wanita yang suka sekali senam sehingga badannya terasa padat berisi. Itu semua aku ketahui setelah dia kirim aku foto dan aku tahu kalau dia penganut sex bebas juga dengan para karyawan-karyawan yang ada di surabaya, itupun aku ketahui setelah Debbie banyak cerita tentang kehiduapn sexnya.
Singkat cerita, kita janjian untuk ketemuan, dengan catatan dia harus bawa teman karena menurut dia, tidak pernah ada acara copy darat sendirian. Dan gilanya lagi dia sudah booking hotel, saat acara ketemuan nanti. Itu karena supaya dia tidak ketahuan suaminya, dia pilih Hotel. Karena menurut Debbie, Hotel adalah tempat yang paling aman.

Cerita Dewasa 6 (mirip Kisye Arsita,,, hehe)

Aku adalah seorang eksekutif muda yang baru diangkat menjadi manajer di sebuah perusahaan swasta di Surabaya. Sebut saja namaku Aldi, tinggi 175 cm kata orang aku mirip pemain bulu tangkis Ricky S. Kisah ini terjadi hampir setahun yang lalu. Umurku saat itu 30 tahun. Aku sudah beristri dan beranak 2, berumur 3 tahun dan yang bungsu baru 1 bulan. Isteri dan anakku masih tinggal di Malang karena saat melahirkan anak kedua tinggal di rumah orang tuanya dan belum pulang ke Surabaya. Kisah ini terjadi saat pulang dari kerja lembur sekitar pukul 11:00 malam. Dengan mobil Baleno kesayanganku, aku menyusuri Jalan di kawasan perumahan elit yang mulai sepi karena kebetulan hujan gerimis. Ditengah perjalanan aku melihat perempuan setengah baya berdiri di bawah pohon di pinggir jalan. Aku merasa kasihan lalu aku menghentikan mobil dan menghampirinya. Aku bertanya, “Ibu sedang menunggu apa?” Dia memandangku agak curiga tapi kemudian tersenyum. Dalam hati aku memuji, Manis juga ibu ini walaupun umurnya kelihatannya di atasku sekitar 34 -36 tahun kalau digambarkan seperti artis Misye Arsita dan saat itu perutnya agak membuncit kecil kelihatan sedang hamil muda.

Cerita Dewasa 6 (Bu Ita)

Namaku Rian, aku seorang pegawai swasta di bandung. Baru sebulan ini aku pindah kantor, alasannya klasik, soalnya kantor baruku ini memberi gaji yang jauh lebih tinggi dari kantorku yang lama. Sebenernya sih aku agak heran dengan kantor baruku ini, soalnya waktu wawancara dulu gaji yang aku ajukan tidak ditawar sama sekali, langsung setuju ! Emang sih aku agak nyesel kenapa gak nawarin yang lebih tinggi lagi, tapi aku sadar diri, untuk posisi yang aku tempati sekarang aja, gajiku tergolong sangat tinggi. Hari itu hari jumat, setelah makan siang, HPku tiba-tiba berdering. Itu dari Bu Ita, manager keuangan yang dulu menyetujui gaji yang aku ajukan. Mengingat “jasanya” dia ke aku, tentu aja aku sangat menghormati dia.

Cerita Dewasa 5 (Mona Rita Tante Ita)

Saat itu aku Ronny masih kuliah dan saya mempunyai teman karib namanya Mona, dari Sumatera, dia menumpang di rumah tantenya. Kebetulan antara saya dan Mona mempunyai hoby yang sama, naik gunung, lintas alam, atletik, lempar lembing. Saya sering bertandang ke rumahnya, makin lama makin sering. Karena saya juga naksir sama Rita, adik sepupu Mona atau anak tantenya. Walau saya sudah menjadi akrab dengan keluarganya, tapi Rita tak kunjung kupacari. Setelah selesai SMA Mona melanjutkan studi di Kota lain, tapi aku mencoba untuk bertandang ke rumah Rita, tapi jarang ketemu. Namun perjalanan waktu menentukan lain bagi Rita, ayahnya yang wakil rakyat itu meninggal. Sekarang ini ibunya mencari nafkah sendiri dengan memegang beberapa perusahaannya yang memang sudah dirintis cukup lama, sebelum terpilih menjadi wakil rakyat. Harapanku memacari Rita tetap ada di dada, walaupun saat aku berkunjung, justru bu Ita (ibunya Rita/tantenya Mona) yang sering menemuiku. karena Rita ada kesibukan di Jakarta, sehubungan dengan keikutsertaannya dalam sekolah presenter di sebuah stasion teve swasta di sana. Tapi sebenarnya kalau mau jujur Rita masih kalah dengan ibunya. Bu Ita lebih cantik.,kulitnya lebih putih bersih, dewasa dan tenang pembawaannya. Sementara Rita agak sawo matang, nurun ayahnya kali? Seandainya Rita seperti ibunya: tenang pembawaannya, keibuan dan penuh perhatian, baik juga. Sekarang, di rumah yang cukup mewah itu hanya ada bu Ita dan seorang pembantu. Mona sudah tidak di situ, sementara Rita sekolah di ibukota, paling-paling seminggu pulang. Akhirnya saya di suruh bu Ita untuk membantu sebagai karyawan tidak tetap mengelola perusahaannya. Untungnya saya memiliki kemampuan di bidang komputer dan manajemennya, yang saya tekuni sejak SMA. Setelah mengetahui manajemen perusahaan bu Ita lalu saya menawari program akuntansi dan keuangan dengan komputer, dan bu Ita setuju bahkan senang. Merencanakan kalkulasi biaya proyek yang ditangani perusahaannya, dsb. Saya menyukai pekerjaan ini. Yang jelas bisa menambah uang saku saya, bisa untuk membantu kuliah, yang saat itu baru semester dua. Bu Ita memberi honor lebih dari cukup menurut ukuran saya. Pegawai bu Ita ada tiga cewek di kantor, tambah saya, belum termasuk di lapangan. Saya sering bekerja setelah kuliah, sore hingga malam hari, datang menjelang pegawai yang lain pulang. Itupun kalau ada proyek yang harus dikerjakan. Part time begitu. Bagi saya ini hanya kerja sambilan tapi bisa menambah pengalaman. Karena hubungan kerja antara majikan dan pegawai, hubungan saya dengan bu Ita semakin akrab. Semula sih biasa saja, lambat-laun seperti sahabat, curhat, dan sebagainya. Aku sering dinasehati, bahkan saking akrabnya, bercanda, saya sering pegang tangannya, mencium tangan, tentu saja tanpa diketahui rekan kerja yang lain. Dan rupanya dia senang. Tapi aku tetap menjaga kesopanan. Pengalaman ini yang mendebarkan jantungku, betapapun dan siapapun bu Ita, dia mampu menggetarkan dadaku. Walaupun sudah cukup umur wanita ini tetap jelita. Saya kira siapapun orangnya pasti mengatakan orang ini cantik bahkan cantik sekali. Dasar pandai merawat tubuh, karena ada dana untuk itu, rajin fitnees, di rumah disediakan peralatannya. Kalau sedang fitnees memakai pakaian fitnees ketat sangat sedap dipandang. Ini sudah saya ketahui sejak saya SMA dulu, tapi karena saya kepingin mendekati Rita, hal itu saya kesampingkan. Data-data pribadi bu Ita saya tahu betul karena sering mengerjakan biodata berkaitan dengan proyek-proyeknya. Tingginya 161 cm, usianya saat kisah ini terjadi 37 tahun, lima bulan dan berat badannya 52 kg. Cukup ideal.

Cerita Dewasa 4 (Istriku)

Karena seringnya pencuri masuk ke perumahan yang kami tempati, maka warga perumahanku secara aklamasi menyewa penjaga malam dan warga boleh boleh saja membantu mereka malam hari. Memang kebetulan rumah yang kutempati di tengah perumahan itu tapi dua rumah di sebelahku belum dihuni sehingga sering kali keempat rumah itu dibuat sebagai tempat persembunyian. Malam itu aku terkena influenza berat karena kehujanan sepanjang siang. “Aku masih menyiapkan makanan untuk penjaga malam, mas….!!”, kata istriku yang berpostur tubuh mungil dengan tinggi 155 cm, berwajah menarik seperti bintang Film Mandarin, meskipun kulitnya agak sawo matang dengan rambut pendek, sehingga tampak lebih muda dari usianya yang menginjak 40 tahun. Malam itu udara sangat panas sehingga dia hanya memakai daster yang lumayan tipis, sehingga memperlihatkan bentuk tubuhnya, utamanya pantat bahenol nya yang empuk itu yang bergoyang saat berjalan, walaupun perutnya tidak ramping lagi, karena sudah dua kali mengandung dan model dasternya berkancing di depan sehingga payudara biarpun tidak besar, tapi padat berisi, yang berukuran 34C agak tersembul dan kedua puting susu nya tampak menonjol dari balik dasternya karena memang dia kalau dirumah hanya memakai camisole tipis saja. “Sudah pukul sepuluh kok belum datang, ya ..!”, dia bergumam sendiri karena mengira aku sudah tertidur. Beberapa saat kemudian kudengar dua orang bercakap-cakap di luar dan mengetuk pintu rumah pelan. Istriku yang rebahan di sampingkupun bangkit dan entah tersadar atau tidak istriku membetulkan rambutnya dan memoles bibirnya sehingga bibirnya semakin merah. “Lho ????”, gumannya pelan ketika tersadar dia memoles bibirnya, tapi karena penjaga malam itu terus mengetuk pintu, dia pun tak jadi membersihkan bibirnya yang merah merangsang itu. “Malam, Bu Yati…!”, terdengar suara seseorang dan aku mengerti kalau suara itu adalah Pak Deran dan istriku sudah dikenal oleh dua orang petugas jaga tersebut karena sering istriku pulang malam seusai mengajar di kampusnya. “Masuk dulu Pak Deran..!”, terdengar istriku mempersilahkan penjaga malam itu masuk, sementara kudengar bunyi halilintar yang cukup keras dan hujan tiba-tiba turun dengan derasnya. “Wah hujan ? saya sama Pak Towadi, Bu Yati..!” katanya. “Nggak apa-apa,… masuk saja … lagian hujan deras, pak….!” kata istriku. “Selamat malam, Bu Yati..!” kudengar Pak Towadi memberi salam pada istriku. “Sebentar tak buatkan kopi ..!” kata istriku, kemudian kudengar istriku berjalan menuju dapur di belakang rumah. “Di, lihat kamu ngga?!” terdengar suara bisikan Pak Deran, “Kamu kacau, Ran?!” balasan suara bisikan Pak Towadi., “Kamu lihat, enggak..?” suara Pak Deran lagi, “Iya, Ran muncul…., kayak penghapus ?” kata Pak Towadi, Rupanya mereka berbisik-bisik mengenai puting susu istriku yang menonjol di balik dasternya, karena malam itu istriku hanya mengenakan camisole di balik dasternya. “Pantatnya bahenol, lagi….,” lanjut bisikan Pak Deran, “Hus istri orang itu, Ran..!” kata Pak Towadi, “Eeh, ini malam Jum’at, kan..? Pas kuat-kuatnya ilmuku hi hi?!!!” kudengar Pak Deran tertawa ditahan pelan, “Dicoba aja.., yok…, siapa tahu Bu Yati mau…!” kata Pak Deran. Kuingat Pak Towadi orangnya hitam agak tinggi dengan badan kekar dan Pak Deran orangnya tambun pendek, keduanya berumur 50 tahunan lebih, aku bergidik juga mendengar perkataan mereka mengenai istriku tadi, mereka penduduk asli daerah itu, terkenal sangat doyan dengan perempuan, bahkan mereka pernah bercerita saat aku jaga malam, kalau pernah membuat pedagang jamu yang bertubuh bahenol, yang sering keliling dua minggu sekali di daerah tempat tinggalku, pernah dibuat hampir tak dapat berjalan karena digilir mereka berdua, dimana saat itu pedagang jamu itu masih perawan dan sampai saat bercerita malam itu, pedagang jamu itu masih sering meminta kepada mereka berdua untuk menggilirnya, biarpun sekarang sudah bersuami, katanya tak pernah puas dengan suaminya yang masih muda, bahkan pedagang jamu itu pernah meminta mereka berdua datang ke rumahnya. “Kalau sudah kena punya kami, pak, …. Waahhh…perempuan pasti malas dengan suaminya dan?..suaminya tak berkutik kalau kami ada, dan membiarkan kami tidur bersama istrinya dalam satu kamar bersama suaminya”, kata Pak Deran terkekeh kekeh malam itu. Kemudian kudengar suara bisikan mereka lagi….. “Kamu jangan ngaco, Ran. Sudah nanti kelewatan?!” kata Pak Towadi “Keris pusakaku.. ku bawa.. Di…. Ini ..he he he ?!” kata Pak Deran, “kamu jangan, gitu Ran…, orangnya lagian baik…, kasihan suaminya nanti, pinginnya sama kamu aja nanti .. !!” suara Pak Kardi lagi. Karena perasaanku nggak enak akhirnya kuputuskan untuk keluar dan mereka berdua terlihat kaget melihatku, tapi Pak Deran yang membawa keris langsung mencabut kerisnya dan langsung mengarahkan kerisnya padaku dan tiba-tiba gelap menyelimutiku. Kemudian aku terjaga dan kudapati diriku di tempat tidur kembali, kutoleh pintu kamarku dan kusen kamar dan lantai pintu kulihat seperti membara. “Eeeecch ?….eeeeccchhh. …eeeeecccchhhh …..!!!! ” kudengar desis istriku dan akupun turun, tubuhku terasa lemas sehingga aku merangkak mendekati pintu kamar dan…… seperti terkena listrik beribu ribu volt saat tanganku memegang kunci kamarku hingga aku tersengkur makin lemas seperti karung bersimpuh di depan pintu kamar yang sedikit terbuka itu. Aku tak percaya melihat di ruang tamu dari pintu kamar yang terbuka sedikit itu, kulihat istriku berdiri di depan Pak Deran yang membawa selongsong keris sebesar batang kemaluan orang dewasa lebih besar dari lampu TL 40 watt yang ujungnya di arahkan kepada istriku yang berdiri, sedangkan tangan yang satunya seolah memelintir di ujung lainnya yang berbentuk huruf U memanjang itu. Kedua tangan Pak Deran kini memegang pangkal keris yang melengkung itu dan kedua jarinya memelintir ujung nya dan kulihat istriku yang berdiri, tubuhnya bergetas dan kembali mendesis “Heeeggghhh ?..oooooohhhhhhh. ……ooooooohhh hhhhh…. ..!!!!!” Pak Deran bukan lagi seperti memelintir tapi menarik narik kedua ujung keris berbentuk U itu dan terlihat istriku membusungkan dadanya seperti kedua puting susu nya tertarik ke depan. “Mmm heeeggggh ?..aaaaaaa… .aaaaduuuuuhhhhh h……!! !!!” istriku mendesis panjang dan Pak Deran langsung mengulum salah satu ujung U itu dan …. “Paaak ?.paaakkkk… .jaa…jaaangaaa annnnn ?.paaakkkkk.. ….!!!!! ” suara desis istriku memelas dan tangan kanan istriku secara refleks memegang payudara kanannya, istriku mendesis-desis kembali….. “Ummmppff?.

Cerita Dewasa 3 (Sari,,, kamu pengen ya???)

TERSINGGUNG KATA Rumah yang mewah, uang yang berlebihan dan fasilitas hidup yang lebih dari cukup ternyata bukan kunci kebahagiaan untuk seorang wanita. Apalagi untuk seorang wanita yang muda, cantik dan penuh vitalitas hidup seperti Sari. Sudah satu bulan ini ia ditinggal suaminya bertugas ke luar kota. Padahal mereka belum lagi enam bulan menikah. Pasti semakin mengesalkan juga, untuk Sari, kalau tugas dinas luar kota diperpanjang di luar rencana. Seperti malam itu, ketika Baskoro, suami Sari, menelepon untuk menjelaskan bahwa ia tidak jadi pulang besok karena tugasnya diperpanjang 2 - 3 minggu lagi. Sari keras mem-protes, tapi menurut suaminya mau tidak mau ia harus menjalankan tugas. Waktu Sari merayunya, supaya bisa datang untuk ‘week-end’ saja, Baskoro menolak. Katanya terlalu repot jauh-jauh datang hanya untuk sekedar ‘indehoy.’ Dengan hati panas Sari bertanya: “Lho mas, apa kamu nggak punya kebutuhan sebagai laki-laki?” Mungkin karena suasana pembicaraan dari tadi sudah agak tegang seenaknya Baskoro menjawab, … “Yah namanya laki-laki, di mana aja kan bisa dapet.” Dalam keadaan marah, tersinggung, bercampur gemas karena birahi, Sari membanting gagang telepon. Ia merasa sesuatu yang ‘nakal’ harus ia lakukan sebagai balas dendam kepada pasangan hidup yang sudah demikian melecehkannya. Kembali ia teringat kepada pembicaraannya dengan Minah beberapa hari yang lalu, kala ia tanyakan bagaimana pembantu wanitanya itu menyalurkan hasrat sex-nya. Waktu itu ia bercanda mengganggu janda muda yang sedang mencuci piring di dapur itu. “Minah, kamu rayu aja si Iman. Kan lumayan dapet daun muda.” Minah tersenyum malu-malu. Katanya, “Ah ibu bisa aja … Tapi mana dia mau lagi.” Lalu sambil menengok ke kanan ke kiri, seolah-lah takut kalau ada yang mendengar Minah mengatakan sesuatu yang membuat darah sari agak berdesir. “Bu, si Iman itu orangnya lumayan lho. Apalagi kalau ngeliat dia telanjang nggak pakai baju.” Pura-pura kaget Sari bertanya dengan nada heran: “Kok kamu tau sih?” Tersipu-sipu Minah menjelaskan. “Waktu itu malam-malam Minah pernah ke kamarnya mau pinjem balsem. Diketuk-ketuk kok pintunya nggak dibuka. Pas Minah buka dia udah nyenyak tidur. Baru Minah tau kalau tidur itu dia nggak pakai apa-apa.” Tersenyum Sari menanyakan lebih lanjut. “Jadi kamu liat punyaannya segala dong?” Kata Minah bersemangat, “Iya bu, aduh duh besarnya. Jadi kangen mantan suami. Biarpun punyanya nggak sebesar itu.” Setengah kurang percaya Sari bertanya, “Iman? Si Iman anak kecil itu?” “Iya bu!” Minah menegaskan. “Iya Iman si Pariman itu. Kan nggak ada yang lainnya tho bu.” Lalu dengan nada bercanda Sari bertanya mengganggu,”Terus si Iman kamu tomplok ya?” Sambil melengos pergi Minah menjawab, “Ya nggak dong bu, ” kata Minah sambil buru-buru pergi. PIKIRAN NAKAL Dalam keadaan hati yang panas dan tersinggung jalan pikiran Sari menjadi lain. Ia yang biasanya tidak terlalu memperdulikan Iman, sekarang sering memperhatikan pemuda itu dengan lebih cermat. Beberapa kali sampai anak muda itu merasa agak rikuh. Dari apa yang dilihatnya, ditambah cerita Minah beberapa hari yang lalu, Sari mulai merasa tertarik. Membayangkan ‘barang kepunyaan’ Iman, yang kata Minah “aduh duh” itu membuat Sari merasa sesuatu yang aneh. Mungkin sebagai kompensasi atau karena gengsi sikapnya menjadi agak dingin dan kaku terhadap Iman. Iman sendiri sampai merasa kurang enak dan bertanya-tanya apa gerangan salahnya. Pada suatu hari, setelah sekian minggu tidak menerima ‘nafkah batin’nya, perasaan Sari menjadi semakin tak tertahankan. Malam yang semakin larut tidak berhasil membuatnya tertidur. Ia merasa membutuhkan sesuatu. Akhirnya Sari berdiri, diambilnya sebuah majalah bergambar dari dalam lemari dan pergilah ia ke kamar Iman di loteng bagian belakang rumah. Pelan-pelan diketuknya pintu kamar Iman. Setelah diulangnya berkali-kali baru terdengar ada yang bangun dari tempat tidur dan membuka pintu. Wajah Iman tampak kaget melihat Sari telah berdiri di depannya. Apalagi ketika wanita berkulit putih yang cantik itu langsung memasuki ruangannya. Agak kebingungan Iman melilitkan selimut tipisnya untuk menutupi tubuh bagian bawahnya. Melihat tubuh Iman yang tidak berbaju itu Sari menelan air liurnya. Lalu dengan nada agak ketus ia berkata, “Sana kamu mandi, jangan lupa gosok gigi.” Iman menatap kebingungan, “Sekarang bu?” Dengan nada kesal Sari menegaskan, ‘Ia sekarang ,,, udah gitu aja nggak usah pake baju segala.” Tergopoh-gopoh Iman menuju ke kamar mandi, memenuhi permintaan Sari. Sementara Iman di kamar mandi Sari duduk di kursi, sambil me!ihat-lihat sekitar kamar Iman. Pikirnya dalam hati, “Bersih, rapih juga ini anak.” MENCOBA JANTAN Kira-kira sepuluh atau lima belas menit berselang Iman telah selesai. “Maaf bu …,” katanya sambil memasuki ruangan. Ia hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya.”Saya pake baju dulu bu,” katanya sambil melangkah menuju lemari pakaiannya. Dengan nada ketus Sari berkata,”Nggak usah. Kamu duduk aja di tempat tidur … Bukan, bukan duduk gitu, berbaring aja.” Lalu sambil melempar majalah yang dibawanya ia menyuruh Iman membacanya. Sambil melangkah keluar Sari sempat berkata “Sebentar lagi saya kembali.” Dengan kikuk dan kuatir Iman mulai membalik halaman demi halaman majalah porno di tangannya. Tapi ia tidak berani bertanya kepada Sari, apa sebenarnya yang wanita itu inginkan. Setelah saat-saat yang menegangkan itu berlangsung beberapa lama, Iman mulai terangsang juga melihat berbagai adegan senggama di majalah yang berada di tangannya itu. Ia merasa ‘alat kejantanannya mengeras. Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan Sari melangkah masuk. Iman berusaha bangkit, tapi sambil duduk di tepi pembaringan Sari mendorong tubuhnya sampai tergeletak kembali. Tatapan matanya dingin, sama sekali tidak ada senyuman di bibirnya. Tapi tetap saja ia terlihat cantik. “Iman dengar kata-kata saya ya. Kamu saya minta melakukan sesuatu, tapi jangan sampai kamu cerita ke siapa-siapa. Mengerti?” Iman hanya dapat mengangguk, walaupun ia masih merasa bingung. Hampir ia menjerit ketika Sari menyingkap handuknya terbuka. Apalagi ketika tangannya yang halus itu memegang ‘barang kepunyaan’nya yang tadi sudah tegang keras. “Hm ….. Besar juga ya punya kamu,” demikian Sari menggumam. Diteruskannya mengocok-ngocok ‘daging kemaluan’ Iman, dengan mata terpejam. Pelan-pelan ketegangan Iman mulai sirna, dinikmatinya sensasi pengalamannya ini dengan rasa pasrah. Tiba-tiba Sari berdiri dan langsung meloloskan daster yang dikenakannya ke atas. Bagai patung pualam putih tubuhnya terlihat di mata Iman. Walaupun lampu di kamar itu tidak begitu terang, Iman dapat menyaksikan keindahan tubuh Sari dengan jelas. Tertegun ia memandangi Sari, sampai beberapa kali meneguk air liurnya. Tidak lama kemudian Sari naik ke tempat tidur, diambilnya posisi mengangkangi Iman. Masih dengan nada ‘judes’ ia berkata … “Yang akan saya lakukan ini bukan karena kamu, tapi karena saya mau balas dendam. Jadi jangan kamu berpikiran macam-macam ya.” Lalu digenggamnya lagi ‘tonggak kejantanan” Iman dan diusap-usapkannya ‘bonggol kepala’nya ke bibir kemaluan’nya sendiri. Terus menerus dilakukannya hal ini sampai ‘vagina’nya mulai basah. Lalu ditatapnya Iman dengan pandangan yang tajam. Katanya dengan suara ketus, … “Jangan kamu berani-berani sentuh tubuh saya.” Setelah itu, … “Juga jangan sampe kamu keluar di ‘punyaan’ saya. Awas ya.” Lalu di-pas-kannya ‘ujung kemaluan’ Iman di ‘bibir liang kewanitaan’nya dan ditekannya tubuhnya ke bawah. Pelan-pelan tapi pasti ‘barang kepunyaan’ Iman menusuk masuk ke ‘lubang kenikmatan’ Sari. ‘Aduh … Ah … Man, besar amat sih” demikian Sari sempat merintih. Setelah ‘kemaluan’ Iman benar-benar masuk Sari mulai menggoyang pinggulnya. Suaranya sesekali mendesah keenakan. Tidak lama kemudian dicapainya ‘orgasme’nya yang pertama. Hampir seperti orang kesakitan suara Sari mengerang-erang panjang. “Aah … Aargh … Aah, aduh enaknya … ” Seperti orang lupa diri Sari mengungkapkan rasa puasnya dengan polos. Tapi ketika Sari sadar bahwa kedua tangan Iman sedang mengusapi pahanya yang putih mulus, ditepisnya dengan kasar. “Tadi saya bilang apa …!” Iman ketakutan, … “Maaf bu.” Lalu perintah Sari lagi, … “Angkat tangannya ke atas.” Iman menurutinya, katanya … “Baik bu.” Begitu melihat bidang dada dan buluketiak Iman Sari kembali terangsang. Sekali lagi ia menggoyang pinggulnya dengan bersemangat, sampai ia mencapai ‘orgasme’nya yang kedua. Setelah itu masih sekali lagi dicapainya puncak kenikmatan, walaupun tidak sehebat sebelumnya. Iman sendiri sebetulnya juga beberapa kali hampir keluar, tapi karena tadi sudah di’wanti-wanti,’ maka ditahannya dengan sekuat tenaga. Rupanya Sari sudah merasa puas, karena dicabutnya ‘alat kejantanan’ Iman yang masih keras itu. Dikenakannya kembali dasternya. Sekarang wajahnya terlihat jauh lebih lembut. Sebelum meninggalkan kamar Iman sempat ia menunjukkan apresiasi-nya. “Kamu hebat Man …” lalu sambungnya “Lusa malam aku kemari lagi ya.” Setelah itu masih sempat ia berpesan, …. “O iya, kamu terusin aja sekarang sama Minah … Dia mau kok.” Iman hanya mengangguk, tanpa mengucapkan apa-apa. Sampai lama Iman belum dapat tertidur lelap, membayangkan kembali pengalaman yang baru saja berlalu. Kehilangan ke’perjaka’an tidak membuat Iman merasa sedih. Malah ada rasa bangga bahwa seorang wanita cantik dari kalangan berpunya seperti Sari telah memilih dirinya. PEJANTAN GAGAH Sesuai pesannya dua malam kemudian Sari datang lagi ke kamar Iman. Kali ini pemuda itu sudah betul-betul menyiapkan dirinya. Jadi Sari tinggal menaiki tubuhnya dan menikmati ‘alat kejantanan’nya yang keras itu. Walaupun suaranya masih ketus meminta Iman untuk sama-sekali tidak menyentuh tubuhnya, kali ini Sari sampai meremas-remas dada dan pinggul Iman ketika mencapai ‘orgasme’nya. Bahkan tidak lupa wanita cantik itu sempat memuji pemuda yang beruntung itu. Katanya, … “Man, Pariman, kamu hebat sekali. Selama kawin aku belum pernah sepuas sekarang ini. Terma kasih ya.” Iman hanya menjawab terbata-bata, … “Saya … Saya … seneng … Hm … Bisa nyenengin bu Sari.” Sambil membuka pintu kamar Sari berpesan. Katanya, …. “Iya Man, tapi jangan bosen ya.” Lalu tambahnya lagi, … “Udah, sekarang kamu terusin sama Minah sana. Aku mau tidur dulu ya.” Dua malam kemudian kembali Sari menyambangi kamar Iman. Kebetulan tanpa penjelasan apapun siangnya ia sempat meminta pemuda itu untuk mengganti seprei ranjang dan sarung bantalnya. “Man … Kamu capek nggak? Sari bertanya dengan lembut. Rupanya berkali-kali dipuaskan pemuda itu membuatnya sikapnya lebih ramah. Iman tersenyum, … “Nggak kok bu. Saya siap dan seneng aja melayani ibu.” Tanpa malu-malu langsung Sari melepaskan daster-nya. Setelah itu dilorotnya kain sarung Iman. Dengan takjub ia memandangi kepunyaan lelaki itu. Tanpa sadar sempat ia memuji, … “Aduh Man, udah besar amat sih kepunyaanmu.” Lalu sambil mengocok-ngocoknya Sari sempat berkata, … “Hm Man, keras lagi.” Lalu sambil membaringkan tubuhnya ia meminta, … “Kamu dari atas ya Man. Aku mau coba di bawah.” Langsung Iman memposisikan ‘kemaluan’nya di antara celah paha Sari. Lelaki muda itu betul-betul terangsang melihat kemolekan nyonya muda yang sedang marah kepada suaminya itu. Tidak pernah terbayang sebelumnya bahwa ia boleh mencicipi tubuh yang seputih dan semulus ini. Apalagi Sari sekarang tidak lagi judes dan ketus seperti pada malam-malam sebelumnya, sehingga semakin tampak saja kecantikannya. Sempat terpikir oleh pemuda itu mungkin judes dan ketusnya dulu itu hanya untuk mengatasi rasa malu dan gengsinya saja. “Man …” Sari memanggilnya lembut, setengah berbisik. “Iya bu …” “Kamu gesek-gesek punyaanmu ke punyaanku dulu ya. Terus masukinnya nanti pelan-pelan.” Diikutinya permintaan Sari, digesek-geseknya ‘bibir kemaluan’ Sari dengan ‘ujung kejantanannya.’ Sari mendesah kegelian, hingga membuat Iman lupa diri. Tangannya mulai mengusap-usap paha dan perut Sari. Tapi wanita cantik itu menepis tangannya. “Jangan sentuh tubuhku, jangan ….” serunya tegas. Iman segera berhenti, ditariknya tangannya. Tidak berapa lama kemudian terdengar Sari meminta. “Man, masukin pelan-pelan Man. Tapi ingat … Jangan sampai keluar di dalam ya.” Pelan-pelan Iman mendorong ‘batang keras’nya memasuki ‘liang kenikmatan’ Sari. Perlahan tapi pasti, sedikit demi sedikit, ‘tombak kejantanan’nya menerobos masuk. Sari terus mendesah keenakan. “Maaf bu, saya mohon ijin memegang paha ibu, supaya punya ibu lebih kebuka.” Akhirnya Iman memberanikan diri meminta. Dengan terpaksa Sari mengijinkan, … “Iya deh. Tapi bagian bawahnya aja ya.” Begitu diberi ijin Iman langsung melakukannya. Walaupun tubuhnya tegak, karena kuatir menetesi tubuh Sari dengan keringatnya, ia dapat menghunjamkan ‘barang kepunyaan’nya masuk lebih jauh. “Ah Man, enak sekali.” Sari berseru keenakan. Langsung Iman menggoyangkan pinggulnya, ke kanan dan ke kiri, mundur dan maju. Sari terus mendesah keenakan, semakin lama semakin keras. Pada puncaknya ia menjerit lembut dan mengerang panjang. “Aduh Man, aku udah. Aduh enak sekali. Aaah, Maaan …. Aaah!” Sementara beristirahat Iman menarik keluar ‘batang kemaluan’nya dan melapnya dengan handuk. Dengan tatapan penuh hasrat Sari memandangi ‘kemaluan’ Iman yang tetap kaku dan keras. Pada ‘ronde’ berikutnya Iman yang bertindak mengambil inisiatif. “Maaf bu …” katanya sambil kedua tangannya mendorong paha mulus Sari hingga terbuka lebar. Sari hanya mengangguk lemah, sikapnya pasrah. Rupanya rasa gengsi atau angkuhnya sudah mulai sirna di hadapan pemuda pejantannya. Ditatapnya wajah Iman dengan seksama. Sekarang baru ia sadar bahwa Iman bukan hanya jantan, tapi juga lumayan ganteng. Begitu berhasil menembus ‘liang kemaluan’ Sari, yang merah merangsang itu, Iman mulai beraksi. Sekali lagi goyangannya berakhir dengan kepuasan Sari. … setelah itu sekali lagi … Sari tergolek lemah. Dibiarkannya Iman memandangi tubuhnya yang terbaring tanpa busana. Mungkin karena itulah ‘alat kejantanan’ Iman, yang memang belum ber-’ejakulasi,’ tetap berada dalam keadaan tegang. “Man … ” suara Sari terdengar memecah keheningan. “Kamu kok hebat sekali sih? Udah sering ya?” Iman menggelengkan kepalanya. “Belum pernah bu. Baru sekali ini saya melakukan. Sama ibu ini aja.” Dengan heran Sari menatapnya, lalu tersenyum karena teringat sesuatu. Tanyanya langsung, … “Tapi udah dikeluarin sama Minah kan?” Jawab Iman, … “Belum kok bu.” Semakin heran Sari. “Lho yang kemarin-kemarin itu? Kan udah saya kasih ijin.” Dengan polos Iman menjawab, … “Iya bu, tapi saya nggak kepengen.” Sari penasaran, … “Lho kenapa?” Dengan polos Iman menjawab, … “Abis barusan sama ibu yang cantik, masa’ disambung sama mbak Minah. Rasanya kok eman-eman ya bu.” “Jadi selama ini kamu tahan aja?” Jawab Iman, … “Iya bu, menurut saya kok sayang.” Entah bagaimana Sari merasa senang mendengar jawaban Iman. Ada rasa hangat di hatinya. “Ah sayang aku udah puas. Mana besok mens lagi …” Tapi ada rasa kasihan juga yang membersit di hatinya. Hebat juga pengorbanan Iman, yang lahir dari penghargaan kepadanya itu. Akhirnya ia mengambil keputusan … “Sini Man, sekarang kamu yang baring di sini.” Kata Sari sambil bangun dari posisinya semula. Iman menatapnya dengan pandangan bertanya, tapi diikutinya permintaan majikannya. Sari segera membersihkan ‘barang kepunyaan’ Iman dengan handuk. Karena dipegang-pegang ‘daging berurat’ milik Iman kembali mengeras penuh. Sambil duduk di tepi ranjang Sari mulai mengelus-elusnya. Sempat ia berdecak kagum menyaksikan kekokohan dan kerasnya. Dirasakannya ukuran ‘daging keras’ Iman yang besar, ketika berada dalam genggaman tangannya. Keenakan Iman, hingga matanya sesekali terpejam. Bibirnya juga mendesis, bahkan sesekali mengerang. Tangan kanannya di tempatkannya di bawah kepalanya. Tangan kirinya mengusap-usap lengan Sari yang sedang mengocok-ngocok ‘barang kepunyaan’nya. Kali ini Sari membiarkan apa yang pemuda itu ingin lakukan. Setelah beberapa saat berlalu Iman mulai mendekati puncak pengalamannya. “Bu, saya hampir bu” Lalu lanjutnya lagi, “Awas bu, awas kena, saya udah hampir.” Sari hanya tersenyum. Katanya, “Lepas aja Man, nggak apa-apa kok.” Setelah berusaha menahan, demi memperpanjang kenikmatan yang dirasanya, akhirnya Iman terpaksa menyerah. “Aduh bu aduuuh aaah …” Cairan kental ‘muncrat’ terlontar berkali-kali dari ‘daging keras’nya, yang terus dikocok-kocok Sari. Tanpa sadar kedua tangan Iman mencengkeram lengan Sari dan menariknya. Tubuh wanita itu tertarik mendoyong ke atas tubuh Iman. Akibatnya cairan kental Iman juga tersembur ke dada dan perutnya. Tapi Sari membiarkannya saja, seakan-akan menyukainya. Setelah ‘air mani’nya terkuras habis baru Iman sadar atas perbuatannya. “Maaf bu, saya tidak sengaja …” Matanya terlihat kuatir. Sari hanya tersenyum, “Nggak apa-apa kok Man.” Lalu sambungnya, … “Aduh Man, kentelnya punyaan kamu. Banyak amat sih muatannya. .” Iman bernafas lega, apalagi ketika dilihatnya Sari melap badannya sendiri, lalu setelah itu badan dan ‘batang terkulai’ miliknya dengan handuk. Sambil bangkit berdiri Sari mengenakan dasternya. Lalu ia berdiri di depan Iman yang masih duduk di tepi pembaringan. “Menurut kamu aku cantik nggak Man?” Tanyanya kepada pemuda itu. “Cantik dong bu, cantik sekali.” Sambil mengelus pipi Iman ia bertanya lagi, … “Kamu bisa nggak sementara nahan dulu?” Iman terlihat kecewa, “Berapa hari bu?” Tersenyum manis Sari menjwab, Yah, sekitar 5-6 hari deh.” Iman mengangguk tanda mengerti dan menatapnya dengan pandangan sayang. Sari membungkuk dan meremas ‘batang kemaluan’ Iman yang masih lumayan keras. “Punya kamu yang besar ini simpan baik-baik ya buat aku.” Lalu dengan gayanya yang manis ‘kemayu’ ia membuka pintu dan melangkah keluar. MENGUMBAR HASRAT Sementara berlangsungnya masa penantian cukup banyak perubahan yang terjadi. Iman sekarang nampak lebih baik penampilannya daripada waktu-waktu sebelumnya. Rambutnya ia cukur rapi dan pakaian yang dikenakannya selalu bersih. Ia sendiri tampak semakin PD atau percaya diri, kalaupun sikapnya kepada Sari tetap sopan dan santun. Apalagi ia yang dulu-dulu tidak pernah dipandang sebelah mata, oleh nyonyanya, sekarang sering diajak mengobrol atau menonton TV. Semua ini tentu saja menimbulkan tanda-tanya, terutama dari orang-orang seperti Minah. Apalagi Sari sering tanpa sadar membicarakan tentang Iman, dengan nada yang memuji. Di waktu malam Sari kadang-kadang terlihat melamun sendiri. Tapi rupanya bukan memikirkan tentang suaminya yang lama bertugas ke luar Jawa. Ia malah sedang merindukan orang yang dekat-dekat saja. Setelah selesai masa menstruasi-nya Sari masih menunggu dua hari lagi, setelah itu baru ia merasa siap. Sore itu ketika berpapasan dengan Iman ia memanggilnya. “Shst sini Man.” Iman menghampirinya, … “Ada apa bu?” Dengan berseri-seri Sari menjelaskan, … “Nanti malam ya.” Iman merasa senang. “Udah bu? Kalau begitu saya tunggu di kamar saya ya bu. Nanti saya beresin.” Tapi kata Sari, … “Ah jangan, kamu aja yang ke kamarku. Jam 11-an ya?” Sambil melangkah pergi dengan tersenyum Iman mengiyakan. Sari benar-benar ingin tampil cantik. Dibasuhnya tubuhnya dengan sabun wangi merk ‘channel.’ Tidak lupa dikeramasnya juga rambutnya yang hitam, panjang dan lebat itu. Lalu dikenakannya gaun malam yang paling ’sexy,’ yang terbuka punggung dan lengannya. Sengaja tidak dipakainya ‘bra.’ Setelah itu masih dibubuhinya tubuhnya dengan ‘perfume’ dan sedikit kosmetik. Begitu juga dengan Iman. Setelah mandi dan keramas dipakainya ‘deodorant’ dan ‘cologne’ pemberian Sari. Jam sebelas kurang sudah diketuknya pintu ruang tidur utama, yaitu kamar Sari. Sari membuka pintu dan menggandeng tangan Iman. Pemuda itu tertegun menyaksikan kecantikan wanita yang berkulit putih itu. Sari mengajak Iman duduk di tepi ranjang. Ditatapnya mata pemuda itu yang balik menatapnya dengan rasa kagum. Sari tersenyum. “Malam ini kamu hanya boleh manggil aku Sari atau sayang. Mau kan?” Iman mengangguk sambil menelan ludah. Kata Sari lagi, … “Malam ini ini kamu boleh memegang saya dan melakukan apa aja yang kamu mau.” Agak gugup Iman menjawab, … “Eng … Terima kasih … Eng … Sayang. Kamu kok baik sekali. Kenapa? Saya ini orang yang nggak punya apa-apa dan nggak bisa ngasih apa-apa.” Sari merangkulkan tangannya ke leher Iman dan menidurkan kepalanya di bahu iman. “Kamu salah Man. Kamu itu laki-laki yang bisa memberi saya kepuasan yang total. Sejak kawin saya belum pernah mengalami seperti yang saya dapat dari kamu.” Lalu sambil tersenyum Sari meminta, … “Sini Yang, cium aku.” Iman mendekatkan bibirnya ke bibir Sari, lalu menciumnya. Tapi karena kurang berpengalaman akhirnya Sari yang lebih agresif, baru kemudian Iman mengikuti secara lebih aktif. Kedua bibir itu akhirnya saling berpagutan dengan penuh semangat. Dengan penuh gairah Sari melepas baju Iman. Sebaliknya Iman agak malu-malu pada awalnya, tapi akhirnya menjadi semakin berani. Dilepasnya gaun malam Sari, sambil diciuminya lehernya yang ramping, panjang dan molek itu. Dengan gemas tangannya meremas buah dada Sari yang ranum. Karena Sari membiarkan saja akhirnya ia berani menciumi, lalu mengulum puting buah dada yang indah itu. Sari kegelian. Tangannya mengusap-usap tonjolan di celana Iman. Kemudian dibukanya ‘ruitslijting’ celananya. Tangannya menguak celana dalam Iman dan masuk untuk menggenggam ‘batang kemaluan’nya yang telah mengeras. Tangan Iman juga langsung melepas celana dalam Sari, kemudian langsung ditaruhnya tangannya di celah paha Sari. Wanita cantik itu mengerang nikmat, rupanya sebelum dengan Iman rasanya cukup lama juga ‘milik berharga’nya itu tidak disentuh tangan lelaki. Kemudian Sari berlutut di depan Iman, hingga membuat pemuda itu merasa jengah. Ditariknya celana panjang Iman, sampai lepas. Lalu dimintanya Iman berbaring di tempat tidur. Iman sempat merasa agak kikuk, tapi gairah Sari segera membuatnya merasa nyaman. Dipeluknya wanita itu dikecup-kecupnya lengan, dada, perut, bahkan pahanya. Karena kegelian Sari mendorong dada Iman hingga sampai terbaring. Sekarang gantian ia yang menciumi tubuh pemuda itu. Dengan mantap dilorotnya celana dalam Iman hingga terlepas. Cepat digenggamnya ‘batang kemaluan’ Iman yang sudah tegang keras berdenyut-denyut. “Man, Iman, besarnya punya kamu. Keras lagi …” Iman tersenyum, … “Abis kamu cantik sih Yang.” Sambil mengocok-ngocok ‘kemaluan’ Iman dengan manja Sari berkata, … “Rasanya aku gemes deh Man.” Iman tersenyum nakal, entah apa yang ada dipikirannya. Ia hanya menanggapi singkat, … “Kalau gemes gimana dong Yang?” Sari tersenyum manis. Tiba-tiba diciuminya ‘kemaluan’ Iman, hingga membuat pemuda itu terkejut. Dengan tatapan heran, tapi senang, dilihatnya Sari kemudian menjilati ‘alat kejantanan’nya. Mulai dari ‘bonggol kepala,’ terus sepanjang ‘batang’nya, bahkan sampai ke ‘kantung buah zakar’nya. Ketika Sari mengulum ‘kemaluan’nya di mulutnya Iman mengerang keenakan. “Aduh sayang, aduh enak sekali … Ah enaknya.” Akhirnya Iman tidak tahan lagi. Ditariknya Sari dengan lembut lalu dibaringkannya terlentang. Didorongnya kedua paha Sari hingga terbuka lebar. Masih sempat diciumi dan dijilatinya tubuh Sari bagian atas, termasuk mengemut puting buah dadanya seperti bayi yang lapar. Lalu pelan-pelan didorongnya ‘alat kejantanan’nya masuk, menguak bibir ‘vagina’ Sari yang ranum, menyusuri liang kenikmatannya. “Pelan-pelan Man, … Punya kamu terasa besar amat sih malam ini, … Aah …” Sari mengerang keenakan. Akhirnya dengan sentakan terakhir Iman menghunjamkan ‘batang kemaluan’nya yang besar itu masuk. Begitu ia menggoyang pinggulnya Sari langsung mendesah. Rasanya nikmat sekali digagahi pemuda yang penuh vitalitas dan enerji ini. Iman terus menggerakkan ‘alat kejantanan’nya maju mundur, hingga membuat Sari mendesah dengan tanpa henti. Akibat gaya Iman yang agresif ini Sari tidak mampu menahan dirinya lebih dari 10 menit. Ia merasa seperti dilambungkan tinggi, sewaktu dicapainya puncak ‘orgasme’nya yang pertama. “Aduh Man, aduh, aku sayang kamu …. Aaah” Erangan panjang keluar dari bibir Sari. Tapi Iman ternyata masih kuat. Diteruskannya gerakan maju-mundur dengan pinggulnya. Akibatnya sensasi nikmat Sari, yang tadi hampir mereda, mulai meningkat lagi. Lima belas menit atau dua puluh menit berlalu sampai terdengar lagi jeritan Sari. “Man … Pariman … Yang … Aku lagi … Yang … Aaah … Aaah” Sekali inipun Iman merasa sudah hampir tiba di ujung daya tahannya. “Sari … Sayang, saya hampir …. Boleh?” Dengan nafas tersengal-sengal Sari memintanya, … “Iya Man, lepas sekarang Man …” Segera Iman mendorong dengan hentakan-hentakan keras. “Sari … Sayang … Aaah” Begitu Iman menyemburkan ’sperma’nya ke dalam ‘vagina’ Sari, ujung kepala kemaluannya berdenyut-denyut. Akibatnya Sari kembali merasa kegelian yang nikmat. “Man aduh Man aduh …” Sari terkulai lemah. “Peluk aku dong Yang …” Disusupkannya kepalanya di ketiak Iman. Tangannya mengusap-usap dadanya yang berkeringat. “Kamu puas Man …?” Tanya Sari kepada Iman. “Puas Sayang, puas sekali” Dalam keheningan malam mereka berdua terbaring saling berpelukan, sampai Iman merasa tenaganya pulih. Sekali lagi ia minta dilayani. Walaupun Sari sudah merasa cukup, dipenuhinya kemauan pejantan mudanya itu. Dengan kagum dirasakannya bagaimana sekali lagi ia dipuaskan oleh birahi Iman. Akhirnya baru menjelang subuh Iman beranjak pergi untuk kembali ke kamarnya.

Cerita Dewasa 1 (Dokter Puskesmas Di Solo)

Aku, Wanto biasa dipanggil Wawan,,,, adalah seorang dokter yang beberapa tahun yang lalu pernah bekerja di puskesmas kecil di suatu kecamatan di Jawa beberapa kilometer dari kota S. Ketika bekerja menjadi dokter puskesmas itu lah aku terlibat perselingkuhan dengan perawat anak buahku sendiri di puskesmas itu. Waktu itu aku masih muda (sekitar 27 tahun), kata orang wajahku cakep dan macho, sedang perawatku itu hitam manis terpaut sekitar 5 tahun lebih muda dariku. Aku sendiri saat itu sudah berkeluarga beranak satu berumur 2 tahun, demikian pula perawatku yang bernama Narsih sudah bersuami tetapi belum punya momongan. Ceritanya begini. Pada saat pertama kali datang melihat puskesmas tempat aku akan berdinas selama 5 tahun yang terletak di suatu kecamatan yang lumayan jauh dari kota kabupaten, aku datang sendirian. Di sana aku ditemui oleh seorang perawat wanita yang sudah bekerja di sana selama tiga tahun semenjak puskesmas itu selesai dibangun. “Narsih”, begitu dia memperkenalkan diri sambil menyodorkan tangannya. Dalam hatiku, “Aduh, manis betul perawat ini”. Sambil bertanya tentang berbagai hal, yang menyangkut kunjungan pasien, tentang pelaksanaan program kesehatan yang selama ini dikerjakan olehnya (selama ini puskesmas dipimpin olehnya yang merupakan satu-satunya perawat dengan dibantu oleh 2 orang petugas lain), tentang keadaan masyarakat sekitar puskesmas, dll, aku tak puas-puasnya memandangi wajahnya yang manis itu. Sebaliknya, si manis ini juga sering dengan berani menatapku balik sambil senyum agak menantang. Pikirku, “Gawat juga anak ini”, kelihatannya dia sangat tertarik secara seksual padaku. Dia cerita kalau sudah menikah selama 2 tahun dan belum berhasil hamil juga. Aku bilang dengan sedikit menggoda: “Wah, jangan-jangan suamimu kurang hebat caranya. Kapan-kapan saya ajari ya”. “Ya dok, tapi jangan suami saya saja yang diajari, saya juga dong”, ujarnya. Beberapa minggu kemudian, aku benar-benar sudah berdinas di puskesmas ini. Aku tinggal di rumah dinas di samping kantor yang masih satu kompleks dengan puskesmas, demikian pula Narsih tinggal di rumah dinas pada kompleks yang sama tetapi di sisi lainnya. Istriku dari pagi sampai menjelang sore pergi ke kota S untuk bekerja. Jadi sesiangan rumahku nyaris kosong. Pada hari pertama, aku mengajak Narsih berboncengan memakai motor ke desa-desa tempat wilayah kerjaku untuk orientasi dan berkenalan dengan beberapa kepala desa yang kebetulan dilewati. Perjalanan melalui jalan yang sebagian besar masih berupa tanah yang dikeraskan, dan di beberapa tempat berupa batu “makadam” yang bergelombang. Tangan Narsih yang kubonceng di belakangku berkali-kali memegang paha atau pinggangku karena takut terjatuh. Aku senang bukan main sambil berdebar. Berkali-kali pula buah dadanya yang tidak terlalu besar tetapi kenyal itu menyenggol di punggungku. Rupanya dia juga tak sungkan-sungkan untuk menempelkannya. Melihat sikapnya yang seperti itu, aku meramal bahwa Narsih suatu saat pasti bisa kuajak bergelut bugil di tempat tidur. Tubuh Narsih cukupan, tingginya sekitar 160 cm, badannya langsing, kakinya mempunyai bulu-bulu yang cukup merangsang lelaki, walau pun kulitnya sedikit gelap. Wajahnya manis mirip Tony Braxton, si penyanyi negro itu. Buah dada tidak besar, yah kira-kira setangkupan telapak tanganku. Itu pun kukira-kira saja, karena di waktu dinas tubuhnya di balut seragam dinas Pemda. Rambutnya sebahu. Yang jelas, wajahnya manis, seksi dan senyumnya menggoda. Dalam perjalanan berboncengan Narsih menceritakan perjalanan hidupnya sejak lulus sekolah dan langsung ditempatkan di puskesmas ini. Di sini mula-mula dia tinggal bersama adik ceweknya yang sekolahnya dibiayainya. Dia sempat berpacaran dengan seorang pemuda yang tinggal di depan rumah dinasnya, tetapi akhirnya justru tetangga lainnya yang memintanya untuk dijadikan menantu. Akhirnya permintaan belakangan itulah yang dipenuhinya sehingga Narsih dinikahi oleh seorang pemuda putra seorang tokoh masyarakat desa (tetangga dekat tadi) dan cukup berada, tanpa melalui proses pacaran. Narsih rupanya selama itu menjadi “bunga” di desa tempat puskesmas berada. Dia menjadi inceran banyak pemuda desa situ, juga orangtua-orangtua yang menginginkannya menjadi menantunya. Tanpa sengaja, ketika Narsih sedang asyik bercerita, motor saya melawati lubang yang cukup membuat motor bergoyang keras, dan bibir Narsih sempat menempel di leherku bagian belakang (aku sedikit geli, tetapi tentu senang dong) dan krah bajuku terkena warna merah lipstiknya. Dia segera membersihkan krah tersebut, kawatir dicurigai istriku macam-macam. Tapi aku tenang saja, bahkan aku bilang: “Nggak apa-apa koq, ditempeli sekali lagi juga nggak apa-apa, apalagi kalau nggak cuma di krah baju”. “Ih, pak Wawan macam-macam …, nanti dimarahi ibu lho.”, katanya agak genit.